Liputan6.com, Jakarta Reruntuhan sejarah kuno selalu menjadi suatu hal yang mengesankan di dunia. Berbagai bangunan tersebut bisa ditemukan di mana saja, termasuk di padang pasir, hutan, bahkan pegunungan. Dari Great Wall di Tiongkok sampai Tikal di Guatemala, berbagai bekas reruntuhan sejarah ini menawarkan para pengunjungnya sekelumit pengalaman hidup di masa lalu.
Baca Juga
Dilansir dari weather.com, Rabu (30/3/2016), salah satu situs arkeologi paling terkenal di dunia adalah Machu Picchu di Peru. Machu Picchu merupakan reruntuhan Inca yang mengesankan. Tempat bersejarah ini berlokasi di ketinggian 7.970 kaki di atas permukaan laut, lereng timur Pegunungan Andes.
Menurut UNESCO, bangunan batu di situs ini dijadikan sebagai salah satu contoh terbaik dari penggunaan bahan baku alami untuk bangunan arsitektur yang luar biasa. Yang lebih mengesankan, Machu Picchu telah berdiri selama lebih dari 500 tahun di tengah cuaca yang ekstrem.
Advertisement
Selain Machu Picchu, Anda tidak boleh melewatkan reruntuhan Tikal yang berada di utara Guatemala. Tikal merupakan salah satu situs arkeologi terbesar dan pusat kota dari peradaban Maya.
Berdasarkan data dari UNESCO, Tikal dikelilingi oleh hutan yang subur, berisi candi-candi yang menakjubkan, dan menjadi istana tempat berbagai upacara diadakan. Sedangkan menurut Smithsonia Magazine, walaupun kota ini telah ditinggalkan oleh penduduk aslinya selama lebih dari seribu tahun yang lalu, keberadaan Tikal tetap tidak diketahui selama hampir satu milenium setelahnya.
Tikal masih menjadi salah satu situs yang terkenal paling misterius dari zaman dahulu. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada bangsa Maya. Beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa kekeringan menjadi penyebab dari runtuhnya peradaban yang sedang berkembang di masa lalu ini.
Menurut CNN, Tikal rentan terhadap perubahan iklim yang dapat menyebabkan kepunahan. Walaupun rentan terhadap cuaca ekstrem, reruntuhan Tikal yang mengesankan ini telah berdiri sejak ribuan tahun yang lalu.
Pada Februari 2012, salju dan suhu beku menyebabkan dinding Colosseum di Roma, yang merupakan amfiteater terbesar dari Kekaisaran Romawi telah runtuh.
Â
Tidak hanya itu, pada 2010, candi Buddha di Indonesia yang berasal dari abad ke 9, Borobudur diselimuti oleh abu vulkanik, saat Gunung Merapi meletus.
Perubahan iklim inilah yang menjadi kekhawatiran jika membicarakan pelestarian warisan budaya. Pada kuliah umum tentang dampak perubahan iklim terhadap situs arkeologi yang diadakan di Yunani, April 2012, seorang profesor dari Universitas Anglia bernama Peter Brimblecombe mendiskusikan bagaimana faktor lingkungan dapat memengaruhi monumen dan situs warisan budaya.
"Perubahan iklim, polusi udara, dan lingkungan dalam jangka waktu panjang dapat membahayakan situs-situs sejarah," jelas Peter.