Sukses

Produk Budaya dan Identitas Kaum Kiri yang Menakutkan

Produk budaya seperti film dan novel telah lama mengidentikan kaum kiri sebagai sesuatu yang mengerikan.

Liputan6.com, Jakarta Pasca ditemukannya kaos bergambar palu arit di pusat perbelanjaan Blok M Square, pihak kepolisian kini makin rajin merazia segala hal yang bernuansa komunisme. Namun tahukah Anda, mengapa komunisme selalu digambarkan sebagai sesuatu yang menyeramkan?

Produk-produk budaya memang telah lama mengkontruksi segala hal yang berbau komunis, marxis, dan anarkisme sebagai suatu yang sangat mengerikan. Sheehan dalam bukunya Anarchism (2003) menjelaskan, berbagai novel dan film di barat memang selalu memberikan citra penokohan yang stereotip dan menakutkan tentang kaum komunis dan marxis.

Novel The Secret Agent tulisan Joseph Conrad misalnya, novel ini mengisahkan tentang komunitas anarkis di London, dengan tokoh yang digambarkan selalu memakai caping sombrero hitam yang dipasang miring untuk menutupi wajah yang berantakan. Selain itu, tokoh profesor juga selalu digambarkan selalu membawa bom dalam sakunya.

Berbagai film yang beredar di abad-20 dan menjadi konsumsi negara-negara berkembang seperti Indonesia, juga banyak melakukan pencitraan kaum kiri sebagai simbolisasi irasionalitas dan orang-orang yang menakutkan. Film Nada garapan Calude Charbol yang rilis tahun 1970 misalnya, secara terstruktur film tersebut menggambarkan kaum kiri sebagai orang-orang dengan idealisme tinggi namun keji, memiliki “kelainan” dan gemar menikmati kekejaman.

Berbagai produk budaya, khususnya produk budaya barat, memang telah lama memberikan ruang pemaknaan yang mengerikan sekaligus menakutkan bagi orang-orang kiri, yang di dalam masyarakat luas digambarkan dengan orang-orang yang antiketeraturan dan antinegara.

Padahal di bangku universitas di Indonesia yang menjadi ranah “Republik Bebas Berpikir”, ideologi dan pemikiran-pemikiran tentang komunis, marxis, dan anarkis menjadi mata kuliah penting yang dipelajari banyak mahasiswa.

Dwi, salah seorang mahasiswa jurusan sastra salah satu kampus di Jakarta saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (11/5/2016) menuturkan, “Udah gak aneh di kampus belajar yang begituan, apalagi saya jurusan sastra. Saya pasti belajar cabang-cabang pemikiran, kayak marxis, komunis, dan itu penting menurut saya, saya jadi tahu gak sebatas di kulit aja.”

Sepaham dengan itu, Rara mahasiswa yang lain menuturkan, "Orang yang ngait-ngaitin palu arit sama kekerasan itu orang yang gak tahu sejarahnya. Makanya itu pentingnya banyak baca, banyak cari tahu. Banyak kok yang bisa dipelajari dari gerakan kiri, termasuk di bidang sastra."