Liputan6.com, Jakarta Tujuh puluh tujuh anak tangga berbahan batu alam tersusun rapi. Anak tangga yang sudah termakan usia hingga ratusan tahun itu masih terlihat kokoh dan kuat sekalipun dibangun tanpa campuran semen. Menjulang dengan kemiringan lebih dari 45 derajat siap menyambut siapa saja yang berkunjung di Desa Adat Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Telukdalam, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.
Bawomataluo adalah bahasa Nias yang berarti bukit matahari. Sebuah desa di atas bukit yang telah ada sejak berabad-abad lalu dan masih terpelihara dengan baik. Desa ini adalah ibu kota desa-desa adat yang tersebar di Nias.
Desa yang dihuni 1.310 kepala keluarga ini masih teguh memegang adat istiadat nenek moyang. Tak ayal berbagai warisan budaya peninggalan leluhur orang Nias ada di desa adat ini. Sebut saja bangunan rumah adat tradisional (omo hada) dengan konstruksi material berbahan kayu tanpa paku, situs-situs megalitikum, tari-tarian, hingga atraksi hombo batu (lompat batu) yang terkenal itu.
Advertisement
Kampung bukit matahari terletak di atas sebuah bukit dengan ketinggian 270 meter di atas permukaan laut. Konon para leluhur orang Nias memilih tinggal di atas bukit untuk bersembunyi dari serangan musuh. Mengingat latar belakang masyarakat Nias yang sering berperang guna memperluas serta mempertahankan teritorial kampung mereka. Pemilihan di atas bukit dirasa sangat tepat karena musuh pasti sulit menjangkaunya.
Tiba di ujung anak tangga, tepatnya di gerbang desa kita dapat menyaksikan pemandangan dengan latar belakang Desa Orahili dan pemandangan Pantai Sorake serta Teluk Lagundri di kejauhan. Pantai Lagundri dan Pantai Sorake dikenal sebagai surga surfing bagi para pecinta olah raga selancar.
Tak jauh dari gerbang desa adat Bawomataluo, deretan omo hada mulai terlihat di sisi kanan kiri jalan. Sekilas deretan omo hada tampak sama, namun jika diperhatikan akan terlihat perbedaannya, yakni pada ukuran rumah, tinggi rumah, serta jalan masuk (tangga) ke dalam rumah. Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan golongan sosial/ tingkat strata pemilik rumah.
Semakin dalam menapaki perkampungan Bawomataluo, terlihat sebuah batu setinggi 2,15 meter yang menjadi tempat untuk lompat batu (Fahombo atau Hombo Batu dalam bahasa Nias) dan rumah adat dengan atap tinggi menjulang yang disebut Omo Sebua (Rumah Raja) di sebelah kiri dan Omo Bale (Balai Desa) di sebelah kanan.
Tari Perang Siap Menyambut Tamu
Tak hanya tenar dengan adat lompat batu. Satu lagi atraksi budaya yang bisa kita nikmati di Desa Bawomataluo adalah Tari Fataele atau tari perang. Tarian ini siap menyambut kedatangan tamu kehormatan yang singgah.
Tari perang diperagakan oleh lebih dari 50 pria, baik tua maupun muda. Mereka menggunakan pakaian tradisi berwarna hitam dan kuning, pakaian dari ijuk serta kulit pohon, aksesori berbentuk penutup kepala, tanduk kerbau yang ditancapkan di hidung, serta persenjataan lengkap seperti tombak, tameng, belati dan pedang bernama pedang Tologu. Mereka terbagi dalam dua grup yang sama-sama bertemu. Lalu saling mendekat seakan tengah bertarung, dengan maju-mundur selaras serta lari-lari kecil.
Tari perang, sesungguhnya menceritakan perihal kehidupan orang-orang Nias zaman dahulu yang sering berperang antar kampung. Permasalahannya, tidak jauh-jauh dari masalah perebutan tempat.
Meski demikian, saat ini sudah tak ada lagi perang antar kampung di Nias. Peperangan yang umum mereka lakukan justru dikemas menjadi satu tarian sebagai daya tarik wisata.
Senjata-senjata yang dipakai ternyata ada yang memiliki unsur mistis. Satu di antaranya yaitu pedang Tologu, yang di bagian sarung pedangnya ada bola rotan serta berisikan kemampuan gaib.
Kampung atau Desa Adat Bawomataluo adalah bukti sejarah akan kejayaan nenek moyang masyarakat Nias yang patut dijaga serta dilestarikan. Menapaki kampung adat Bawomataluo merupakan satu kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagi saya. Saya bisa bergaul, bercengkrama langsung dengan warga desanya yang ramah serta menyaksikan langsung salah satu ikon wisata yang kini telah menjadi salah satu warisan budaya dunia. Desa adat ini sudah didaftarkan World Heritage di UNESCO sejak 2009 sebagai warisan budaya dari Indonesia.