Liputan6.com, Jakarta "Wooww....wuiiihhh....kereen," demikian teriakan ratusan penonton diakhiri tepuk tangan meriah saat 10 pemuda desa adat Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Telukdalam, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, melakukan aksi lompat batu secara medley, Rabu (4/5/2016). Batu yang disusun persegi panjang dengan tinggi mencapai 2,15 meter dengan mudahnya dilompati oleh pemuda-pemuda ini.
Sebelum melompat, para pemuda yang mengenakan pakaian prajurit ini mengambil ancang-ancang dengan jarak yang tak terlalu jauh, yakni hanya sekitar 5-6 meter. Kemudian satu-persatu mereka melaju kencang, menginjak sebongkah batu kecil, lalu melayang ke udara melewati batu besar setinggi lebih dari 2 meter dan mendarat dengan mulus. Tubuh mereka tidak boleh menyentuh permukaan batu sedikit pun. Dengan demikian, mereka harus memperhitungkan betul antara berlari, berpijak, kemudian melayang ke udara. Jika perhitungan meleset, maka fatal akibatnya.
Cedera menjadi hal yang biasa dialami oleh para pelompat batu, seperti patah tangan, patah kaki, patah tulang tusuk, hingga cedera kepala akibat terbentur batu. Oleh karena itu, tidak semua pemuda Nias bisa melakukan lompat batu. Sekalipun telah berlatih sejak usia 7 tahun, akan tetapi hanya beberapa pemuda yang lolos sebagai pelompat batu.
Nicholaus (29) misalnya, adalah warga kampung Bawomataluo. Hari itu, Nichlolaus yang tampil dengan tarian perangnya bercerita pada saya. Ia mengaku kini tak bisa lompat batu karena fisiknya tak lagi sekuat dulu. Pertama kali melompat batu saat berusia 21 tahun.
Advertisement
Nicholaus mengungkapkan bahwa pemuda yang terpilih sebagai pelompat batu adalah mereka yang memiliki fisik yang kuat. Bila dikaitkan pada tradisi masa lampau, Nicholaus mengatakan hanya mereka yang memperoleh restu dari roh nenek moyang serta memiliki kesaktian yang bisa menjadi pelompat batu.
Tradisi Turun Menurun
Tradisi Turun Menurun
Tradisi lompat batu atau Hombo Batu/ Fahombo ini memang hanya ada di Pulau Nias. Ini membuat siapa pun yang mendengar kata Nias, yang pertama terbersit adalah budaya lompat batunya. Saking melekatnya tradisi lompat batu dengan Pulau Nias, hingga ketika kita berkunjung ke Nias, orang Nias selalu mengatakan, “Belum ke Nias bila tak menyaksikan aksi lompat batu.”
Meski demikian, tak semua wilayah di Pulau Nias memiliki tradisi ini. Bahkan kini tradisi lompat batu hanya bisa ditemui di beberapa desa saja, salah satunya di wilayah Telukdalam, tepatnya di Desa/Kampung Bawomataluo. Sekitar 3,5 jam perjalanan darat dari Bandara Binaka Nias.
Fahombo atau Hombo Batu ini adalah tradisi yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi oleh leluhur orang Nias (Ono Niha) sejak berabad-abad tahun lalu. Awalnya tradisi lompat batu ini merupakan kegiatan latihan para prajurit. Mengingat latar belakang kehidupan orang-orang Nias zaman dahulu yang sering berperang antar kampung. Permasalahannya, tidak jauh-jauh dari masalah perebutan wilayah kekuasaan.
Untuk menjaga agar wilayah mereka aman dari serangan musuh, kampung-kampung di Telukdalam, Nias Selatan pada masa itu dibentengi pagar bambu runcing setinggi 2 meter. Karenanya untuk bisa menerobos kampung lawan, para prajurit harus memiliki ketangkasan melompat. Prajurit yang berhasil melewati pagar, kemudian membuka kunci dari dalam lalu membuka gerbang, dan seluruh pasukan yang menunggu di luar pun menyerbu masuk.
Saat ini sudah tak ada lagi perang antar kampung di Nias. Peperangan yang umum mereka lakukan justru dikemas menjadi satu tarian sebagai daya tarik wisata. Demikian pula dengan tradisi lompat batu, kini disatukan dalam upacara ritual khas Nias baik dalam upacara budaya penyambutan tamu kehormatan, festival budaya, maupun acara-acara budaya lainnya.
Advertisement