Liputan6.com, Jakarta Tradisi mengunyah sirih pinang atau menginang, yang sebenarnya dilakukan oleh masyarakat Indonesia di hampir semua pulau seperti Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua dan Sumatera ini juga dilakukan di Pulau Nias. Kebiasaan inilah yang menjadikan kekayaan Nias makin lengkap.
Tak hanya kaya dengan alamnya yang indah. Serta keragaman budaya dan tradisi leluhur yang masih hidup dan melekat sampai saat ini seperti tradisi lompat batu (hombo batu), rumah adat (omo hada), peninggalan situs megalitikum, serta tari-tarian seperti tari perang (Fataele) dan Mogaele serta tradisi budaya unik lainnya.
Masyarakat meyakini ini sebagai kegiatan untuk mengisi waktu senggang. Ada juga yang melakukannya karena memberi kenikmatan seperti orang merokok. Ada yang meyakini memberi manfaat kesehatan seperti menghilangkan bau mulut, menyehatkan gigi maupun pencernaan.
Advertisement
Â
Baca Juga
Kegiatan turun temurun ini dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki. Orang Nias menyebutkan sebagai tradisi manafo. Manafo adalah tradisi bersirih atau menginang yang dilakukan dengan cara mengunyah bahan-bahan seperti tawuo (daun sirih), betua (kapur), gambe (daun gambir), bago (tembakau), dan fino (buah pinang). Racikan kelima bahan ini disebut Afo.
Saking hidup dan melekatnya tradisi ini bagi orang Nias (Ono Niha), Manafo dianggap sebagai simbol budaya dan terkadang menjadi bagian dari acara-acara adat di Nias seperti acara penyambutan tamu kehormatan, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tamu lain dari luar daerah.
Tarian Fame’e Afo
Tarian Fame’e Afo
Apabila ada orang asing yang berkunjung di Nias dan masih berada di luar atau di halaman rumah, ia adalah orang asing dan belum tentu diterima sebagai tamu. Tapi saat masuk dalam rumah ia adalah raja yang harus dihargai dan kepadanya wajib disuguhkan sirih sebagai lambang penghargaan. Demikianlah kira-kira ungkapan yang menggambarkan betapa orang Nias sangat menghargai tamu-tamunya.
Hal itu sangat saya rasakan manakala menginjakkan kaki di tanah Nias. Berbagai ritual penyambutan tamu selalu mewarnai setiap acara. Afo dikemas rapi dalam wadah yang terbuat dari anyaman daun pandan yang disebut Bolanafo.
Tak sekadar disuguhkan begitu saja, melainkan diantar dengan sebuah tarian yang dinamakan Tari Fame’e Afo. Tarian ini merupakan tarian tradional Nias yang menggabungkan antara kekuatan dan kelemahlembutan yang menjadi ciri khas anak Nias.
Jadi sebelum afo disuguhkan, beberapa penari yang semuanya wanita akan menari dengan gerakan yang sangat halus dan gemulai diiringi musik tradisional seperti gong, canang, dan bedug. Selesai menari, para penari ini kemudian mendatangi tamu terhormat satu persatu untuk menyerahkan sirih-pinang. Lalu sebagai bentuk penghormatan kepada tuan rumah, para tamu diwajibkan untuk mengambil kemudian menguyahnya.
Pertama kali saya merasainya saat menguyah Afo, pahit. Selain pahit ada juga rasa getir akibat daun sirih. Kepala pun lama-kelamaan jadi pening. Entah kenapa. Katanya sih ini akibat kapurnya. Lalu, produksi ludah makin banyak. Itulah kenapa, saat melihat orang menginang kita selalu lihat dia sering meludah. Air liurnya pun berwarna merah akibat campuran daun sirih dan kapur serta buah pinang.
Advertisement
Berasal dari India
Berasal dari India
Budaya makan sirih sangat hidup di kalangan penduduk di Asia Tenggara. Pendukung budaya ini terdiri dari pelbagai golongan, meliputi masyarakat bawah, pembesar negara, serta kalangan istana. Tidak diketahui secara pasti dari tradisi ini berasal. Dari cerita-cerita sastra, dikatakan tradisi ini berasal dari India.
Tetapi jika ditelusuri berdasarkan bukti linguistik, kemungkinan besar berasal dari Nusantara. Pelaut terkenal Marco Polo menulis dalam catatannya di abad ke-13, bahwa orang India suka mengunyah segumpal tembakau. Sementara itu penjelajah terdahulu seperti Ibnu Batutah dan Vasco de Gama menyatakan bahwa masyarakat Timur memiliki kebiasaan memakan sirih.
Di masyarakat India, sirih pada mulanya bukan untuk dimakan, tetapi sebagai persembahan kepada para dewa sewaktu sembahyang di kuil-kuil. Beberapa helai daun sirih dihidangkan bersama dengan kelapa yang telah dibelah dua dan dua buah pisang emas.
Pada saat ini sirih sangat dikenal di kalangan masyarakat Melayu. Selain dimakan oleh rakyat kebanyakan, sirih juga dikenal sebagai simbol budaya dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam adat istiadat Melayu. Sirih dipakai dalam upacara menyambut tamu, upacara meminang, upacara pernikahan, pengobatan tradisional, dan berbagai upacara adat yang lain.Â
Simbol rendah hati
Simbol rendah hati
Menyuguhkan afo di beberapa tempat bisa diartikan sebagai simbol kerendahan hati dan sengaja memuliakan tamu atau orang lain walaupun dia sendiri adalah seorang yang pemberani dan peramah.
Sebentuk daun sirih (sebagai aspek ikonik) dalam kaitan ini dapat dirujuk pada aspek indeksikalnya adalah sifat rasa yang pedar dan pedas. Simbol yang terkandung di dalamnya adalah sifat rendah hati dan pemberani.
Afo juga dianggap memiliki makna sebagai sumber perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijuek, meu-uroh, dan upacara lainnya, sirih pinang hadir ditengah-tengahnya.
Semua bentuk upacara itu selalu diawali dengan menyuguhkan afo sebelum upacara tersebut dimulai. Dalam etika sosial masyarakat Nias, tamu harus selalu dilayani dan dihormati secara istimewa.
Â
Advertisement