Liputan6.com, Jakarta Anak sukses sering dikaitkan dengan cara didik orangtuanya. Tentu saja, harapan setiap orangtua adalah agar anak-anaknya jauh dari masalah, menjadi siswa yang baik di sekolah, dan dapat melakukan hal-hal hebat saat sudah tumbuh dewasa.Â
Baca Juga
Walaupun tak ada resep pasti dalam mengasuh yang dapat menjamin bahwa anak akan sukses, sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok psikolog menemukan bahwa ada beberapa faktor yang penting dalam mengasuh anak agar jadi sukses. Bukan fakta baru, namun kesuksesan seorang anak banyak bergantung dari hal-hal yang diajarkan oleh orangtuanya. Dilansir dari Independent.co.uk pada Senin (30/5/2016), simak 11 persamaan orangtua dari anak-anak yang sukses.
1. Memberikan tugas rumah kepada anak
Advertisement
Jika anak Anda tidak pernah mencuci piring, berarti ada orang lain yang melakukannya untuk dia. Tugas-tugas rumah penting untuk membuat anak mengerti bahwa mereka harus bersedia untuk bekerja demi kebaikan bersama. Anak yang dibiasakan mengerjakan tugas-tugas rumah akan tumbuh menjadi seseorang yang dapat bekerjasama dengan baik di tempat mereka bekerja. Tak hanya itu, mereka akan memiliki empati yang tinggi karena tahu bagaimana rasanya berjuang dan menjalankan tugas dengan baik. Menyapu, mengeluarkan sampah, mencuci pakaian, adalah hal-hal mendasar yang dapat mengajarkan seorang anak bahwa mereka harus selalu berusaha dan bekerja dalam menjalani hidup.
2. Mengajarkan anak keterampilan sosial
Sekelompok peneliti dari Pennsylvania State University dan Duke University memantau lebih dari 700 anak dari mulai taman kanak-kanak hingga usia 25 tahun di seluruh Amerika. Mereka menemukan bahwa ada korelasi signifikan antara keterampilan sosial anak-anak saat masih di TK dengan kesuksesan mereka saat sudah dewasa 2 dekade kemudian. Penelitian yang berlangsung selama 20 tahun ini menunjukkan bahwa anak-anak yang kompeten secara sosial dapat bekerjasama dengan sesamanya tanpa diminta, membantu dan mampu bersikap pengertian kepada teman, menyelesaikan masalah sendiri dan kemudian berhasil menyelesaikan kuliah dan bekerja pada usia 25 tahun. Berbeda dengan anak-anak yang keterampilan sosialnya terbatas yang cenderung terlibat dalam masalah dan ditangkap polisi, ketergantungan pada alkohol dan hidup dari sokongan pemerintah.
Penelitian ini menunjukkan pentingnya membantu anak-anak mengembangkan kemampuan sosial dan emosionalnya untuk masa depan yang lebih cerah. Dari usia dini, keterampilan sosial dapat menentukan apakah sang anak akan pergi kuliah atau masuk penjara, atau apakah mereka akan bekerja di tempat yang layak atau menjadi pecandu narkoba.
3. Memberikan ekspektasi tinggi
Berdasarkan survey nasional terhadap 6600 anak yang lahir pada tahun 2001, Profesor Neal Halfon dari University of California menemukan bahwa ekspektasi dari orangtua terhadap anak-anak berpengaruh terhadap pencapaian mereka dalam hidup. Saat orangtua sudah merencanakan bahwa kuliah termasuk dalam salah satu tahap kehidupan anak mereka, maka sang anak akan bergerak menuju tujuan tersebut dalam hidupnya. Setiap anak diharapkan dapat hidup dan memenuhi ekspektasi orangtua mereka.
4. Memiliki hubungan keluarga harmonis yang minim konflik
Menurut penelitian University of Illinois, anak-anak yang hidup dalam keluarga penuh konflik, dengan orangtua yang masih bersama maupun sudah bercerai, cenderung memiliki standard hidup yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang hidup dari keluarga yang harmonis. Konflik antara orang tua sebelum perceraian juga mempengaruhi anak secara negatif, sementara konflik pasca-perceraian memiliki pengaruh yang kuat pada penyesuaian anak-anak. Penelitian ini juga menemukan bahwa anak dengan orangtua tunggal yang hidup tanpa konflik dapat bertahan hidup lebih baik daripada anak-anak yang tumbuh dengan orangtua utuh namun penuh konflik. Penelitian ini juga menemukan bahwa jika sang anak masih berhubungan dengan ayahnya dengan minimal konflik, ia akan hidup lebih baik daripada anak-anak yang masih berhubungan dengan ayahnya namun mengalami banyak konflik. Penelitian lain menemukan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai tetap memiliki rasa kecewa dan sedih hingga sepuluh tahun setelah perceraian tersebut. Anak-anak yang memiliki orangtua yang bermasalah sering memiliki perasaan kehilangan dan penyesalan.
5. Memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
Penelitian dari University of Michigan menemukan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh seorang ibu yang menyelesaikan SMU atau kuliah akan memiliki tingkat pendidikan yang sama atau lebih tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh ibu berusia 18 tahun atau lebih mudah cenderung tidak akan menyelesaikan sekolah. Tingkat pendidikan orangtua saat anak berusia 8 tahun akan memprediksi tingkat pendidikan sang anak 40 tahun kemudian.
6. Mengajarkan matematika
Analisis mendalam yang dilakukan terhadap 35 ribu anak TK di Amerika, Kanada, dan Inggris menemukan bahwa mengembangkan keterampilan matematika sejak dini akan membawa manfaat yang sangat tinggi saat sang anak dewasa. Kemampuan matematika dasar seperti pengetahuan akan angka, urutan, dan konsep lainnya tak hanya memprediksi kemampuan matematika sang anak di masa depan, namun juga berpengaruh terhadap kemampuan dalam membaca.
7. Tidak rentan stres
Menurut penelitian dari Brigid Schulte, jumlah waktu yang dihabiskan oleh seorang ibu dengan anak-anak yang berusia 3 sampai 11 tahun sedikit berpengaruh terhadap perilaku sang anak, serta prestasinya. Ternyata mengasuh secara intensif tidak selalu berdampak positif, terlebih lagi jika sang ibu mengalami stres karena harus membagi waktu antara bekerja dan meluangkan waktu dengan anak. Kondisi emosional orangtua bersifat menular pada anak, jadi jika orangtua kelelahan atau frustrasi, maka sang anak akan cenderung merasakan hal yang sama.
8. Mementingkan usaha dibandingkan menghindari kegagalan
Pemahaman anak tentang kesuksesan akan mempengaruhi pencapaian mereka. Penelitian selama beberapa dekade di Standford University menemukan bahwa orangtua dan anak-anak memiliki 2 jenis pemahaman tentang kesuksesan. Pemahaman pertama adalah fixed mindset dimana karakter, kecerdasan dan kemampuan kreatif adalah sesuatu yang bersifat statis dan tidak akan berubah. Untuk itu, kesuksesan adalah afirmasi dari hal tersebut, sehinggga berjuang untuk kesuksesan dan menghindari kegagalan adalah cara untuk memelihara faktor-faktor tersebut.
Pemahaman kedua adalah growth mindset dimana tantangan adalah sesuatu yang harus dihadapi dan melihat bahwa kegagalan penting untuk perkembangan dan mencapai kemampuan secara optimal. Saat seorang anak gagal, maka ia tidak dilihat tidak cerdas atau tidak mampu, namun ia sedang dalam proses belajar menuju kesuksesan. Perbedaan utamanya adalah pemahaman tersebut memiliki efek yang kuat terhadap anak. Jika kemampuan mengerjakan ujian di sekolah dianggap sebagai kecerdasan, maka hal tersebut menciptakan fixed mindset. Jika kemampuan tersebut dianggap sebagai hasil sebuah usaha, maka hal tersebut menciptakan growth mindset.
9. Menjalin hubungan yang sehat dengan anak
 Anak-anak yang menerima kasih sayang dan afeksi dalam 3 tahun pertamanya cenderung dapat menyelesaikan tes akademik lebih baik saat di sekolah, dan memiliki hubungan yang sehat dan banyak pencapaian di usia 30-an. Orangtua yang sensitif dan penyayang memberikan respon terhadap kebutuhan anak secara cepat dan tepat, dan memenuhi rasa aman yang dibutuhkan seorang anak untuk menghadapi dunia luar. Hubungan orangtua dengan anak yang dijalin sejak dini dapat dikatakan sebagai investasi yang akan berpengaruh pada hidup sang anak saat dewasa.
10. Memiliki ibu yang bekerja
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Harvard Business School, ada manfaat signifikan bagi anak-anak yang dibesarkan oleh ibu yang bekerja di luar rumah. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa anak perempuan dengan ibu bekerja dapat menyelesaikan sekolah dengan baik, mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan penghasilan yang lebih tinggi dibanding anak perempuan yang dibesarkan oleh ibu rumah tangga.
Anak laki-laki dari ibu yang bekerja cenderung lebih mudah berkontribusi terhadap pekerjaan rumah tangga. Orangtua yang bekerja memberikan contoh kepada anak akan cara hidup dan berperilaku, dan ibu yang bekerja dapat menghasilkan anak-anak yang juga siap berjuang dan bekerja dalam hidup.
11. Memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi
Sayangnya, banyak anak yang tumbuh dalam kemiskinan. Situasi ini dapat membatasi potensi sang anak. Status sosial ekonomi mempengaruhi pencapaian edukasi dan performa dalam pekerjaan.