Sukses

Kineforum, Jembatan Asa Film dan Penonton

Terus bekerja hingga 10 tahun, Kineforum tak pernah henti berupaya mempertemukan film dengan para penontonnya.

Liputan6.com, Jakarta Sempat mengalami zaman keemasan di era 70-an, film Indonesia langsung kolaps pada dua dekade berikutnya. Insan film tak mampu membendung banjirnya arus film impor. Menurut pandangan Heru Sutadi, dalam esainya yang berjudul "Sejarah Perkembangan Film Indonesia", permasalahan dana, kurangnya SDM, dan kebijakan pemerintah pada saat itu turut memperparah keadaan industri film di Indonesia. Alhasil dari tahun ke tahun terjadi pelebaran jarak antara film, bioskop, dan penonton, yang merupakan tiga komponen penting dalam industri film.

Di tahun 2000-an, seiring dengan munculnya berbagai karya dari sineas muda tanah air, seperti Riri Riza, Rizal Mantovani, dan Garin Nugroho, angin segar dalam ranah perfilman Indonesia bertiup kembali. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) melalui komite film, sebagai motor dari kehidupan seni gambar bergerak di Jakarta khususnya, menjadi wadah terbentuknya banyak kine klub.

Kine klub-kine klub inilah yang menjadi embrio terbentuknya artsinema, yang pada 2006 pasca pergantian pengurus DKJ, dikembangkan menjadi Kineforum, suatu wadah yang berusaha menjembatani karya-karya film, termasuk film non-arus utama, agar bertemu dengan para penontonnya. Bertahan hidup dari dana hibah DKJ dan donasi para penonton, Kineforum kini telah menginjak usia yang ke-10 tahun.

Film, bioskop, dan penonton jadi tiga komponen penting dalam industri film.

Alexander Matius, Manajer Pelaksana Kineforum, saat dijumpai Liputan6.com, Rabu (1/6/2016) mengatakan, Kineforum mampu bertahan hidup hingga sejauh ini karena pecinta film itu benar-benar ada di Indonesia. Kineforum juga makin dicintai karena memiliki semangat luhur untuk menghubungkan film-film non-arus utama agar bertemu dengan para penontonnya.

“Kita kemas film dalam konteks program, kalau film di bioskop itu hanya sebagai film itu sendiri, hanya sebagai produk, tapi kalau kita itu kita kemas dalam satu rangkaian yang terdiri dari banyak film. Ada konteks film itu diputar, ada diskusi setelahnya,” ungkap Matius.

Tak hanya itu, Kineforum juga konsisten memegang konsep layar putar sama halnya dengan bioskop kontemporer. Sehingga penonton bisa menikmati film-film yang ingin ditontonnya dengan rasa bioskop, rasa yang tidak bisa mereka dapatkan saat menonton lewat internet di youtube maupun aplikasi film independen lainnya yang kini mulai banyak bermunculan.

Selasar kineforum , tempat penikmat film berbincang sambil menunggu pemutaran film.

Namun demikian, kehadiran Kineforum sebagai media layar putar bukan tanpa kendala. Matius mengakui, selain dana, ketersediaan film merupakan persoalam utama yang harus dihadapai komunitas ini, apalagi Indonesia terkenal dengan pengarsipannya yang jelek. Kalau pun ada, itu tidak dirawat dan dilestarikan dengan semestinya.

“Selain anggaran, kendalanya ya ketersediaan film. Itu pasti, karena misalnya kita dalam konteks ngomongin sejarah dalam film Indonesia, seharusnya kan saya bikin program dulu. Udah kebayang nih mau bikin program apa, cuma kan sialnya balik lagi ke ketersediaan film tadi. Jadi kadang-kadang juga harus kebalik pola pikirnya. Jadi kita lihat dulu ketersediaan filmnya, baru bikin program. Sebenarnya itu gak sehat sih, tapi mau gimana lagi, arsip kita buruk. Akuin aja gitu kan,” ungkapnya.

Bagi Matius, keberadaan kineforum dan beberapa layar putar yang ada di Jakarta belum cukup untuk mewadahi semua film, termasuk film pendek, film dokumenter, dan eksperimental. Makin banyak kesempatan putar sebuah film di bioskop, sebenarnya makin besar juga kesempatan film tersebut bertemu dengan penontonnya. Terbukti saat film Prenjak: In The Year of Monkey didapuk sebagai pemenang untuk The Leica Cine Discovery Prize Cinema de pa critic Cannes 2016. Sayang, belum banyak penikmat film yang sempat menonton film tersebut. 

Terus bekerja hingga 10 tahun, Kineforum tak pernah henti berupaya mempertemukan film dengan para penontonnya.

“Harus banyak ruang seperti Kineforum sih sebenarnya, ya pokoknya ruang putar alternatif. Itu juga kan yang memunculkan banyak keragaman yang bisa ditawarkan. Kalau begitu akan jadi sehat, makin banyak keragaman, makin banyak penawaran kan makin baik,” katanya.

Kritik film

Selain ruang, yang menyehatkan seni gambar bergerak itu sendiri adalah hidupnya kritik film. Matius mengatakan, kritik film di Indonesia saat ini belum terlalu bagus, dan hanya menjadi panduan belanja belaka. Penulis kritik film juga belum dibekali dengan pengetahuan yang memadai, belum pada taraf mengupas estetika filmnya.

“Kritik film pendek bisa dikatakan masih terbatas. Ya, itu balik lagi, karena sulitnya untuk menonton film itu. Kemudian juga soal pengetahuan si penulis kritiknya mungkin, bagaimana dia menuliskannya dengan baik. Syukurnya masih ada penulis kritik film yang bagus, tapi masih sedikit,” kata Matius.

Kineforum sendiri tidak ingin masuk ke dalam ranah kritik film, karena wadah ini merupakan komunitas independen yang bagaimanapun juga hanya menghubungkan film dengan penontonnya. “Harapannya justru penonton bisa ngasih kritik ke filmnya, bukan kineforum,” katanya.

Matius mengharapkan, ke depan kehidupan industri film Indonesia makin berkembang. Artinya, makin banyak film yang tercipta. Tak hanya dari segi kuantitas, tetapi juga kualitasnya. Makin banyak pula gaya-gaya, narasi baru yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah film Indonesia. Dia berharap juga makin banyak layar putar alternatif, sehingga karya-karya film yang bagus itu dapat bertemu dengan penontonnya. Dan yang terpenting, semua masyarakat Indonesia makin sadar dan peduli pada film buatan anak bangsa.