Sukses

Gerda Sayang, Novel Grafis Jenaka yang Ungkap Sisi Lain Perang

Novel grafis Gerda Sayang karya Flip Peeters setidaknhya menunjukkan, cinta romantik ternyata bisa mengalahkan cinta patriotik.

Liputan6.com, Jakarta Flip Peeters, pemuda biasa asal Kota Utrecht tiba-tiba harus pergi meninggalkan tanah airnya dan terlibat dalam perang. Bahkan wajib militer yang diterimanya saat berusia 21 tahun itu memaksanya harus berpisah dengan Gerda, kekasih tunangannya. Apalagi pada masa Agresi Militer, Belanda mendapat perlawanan sengit dari tentara kemerdekaan Indonesia.

Bagi Flip, itulah masa-masa terberat dalam hidup, yang digoreskan menjadi novel grafis memukau. Dengan sangat detail, prajurit berkacamata dengan postur tubuh lebih kecil dari tentara Belanda pada umumnya itu mencatat gejolak batin dalam diri menjadi kisah yang mengesankan.

Bertepatan dengan HUT ke-71 RI, Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) meluncurkan kisah prajurit Belanda yang lugu dan jenaka serta jauh dari stereotipe penjajah yang “haus” harta dan kekuasaan ini, menjadi sebuah novel grafis berbahasa Indonesia berjudul “Gerda Sayang”. Dalam acara peluncuran yang digelar Rabu (24/8/2016), hadir sebagai pembicara Seno Gumira Ajidarma dan Willy Adriaans, perwakilan Museum Bronbeek yang juga menjadi pengalih bahasa.

“Ini bukan lagi bicara penjajahan, novel grafis ini hanya menceritakan ada cinta romantik yang mengalahkan cinta patriotik,” kata Oscar, kurator GFJA yang juga menjadi moderator dalam peluncuran. Sementara itu Seno mengatakan, novel grafis “Gerda Sayang” jika dilihat dari aspek psikologis penulisnya merupakan sebuah cara untuk melawan keterasingan.

Novel grafis Gerda Sayang disusun berdasarkan kisah nyata dan pengalaman Flip Peeters saat ditugaskan wajib militer ke Hindia Belanda.

“Coba bayangkan bagaimana rasanya hidup di tempat yang baru yang belum dikenal sebelumnya, dalam suasana perang, dan harus meninggalkan kekasih. Secara psikologis terlihat bagaimana Flip berusaha melawan rasa bosan di tanah asing yang jauh dari tanah airnya,” kata Seno.

Sementara itu, Willy Adriaans menjelaskan, kemahiran Flip menggoreskan gambar dan menceritakan secara jenaka apa yang dialaminya saat bertugas di Hindia Belanda bukanlah bakat belaka. Latar belakang sosial sebagai anak tukang cat menjadikan dirinya mahir menggambar.

Diskusi novel grafis Gerda Sayang dihadiri Seno Gumira Ajidarma dan Willy Adriaans, serta Oscar Motuloh sebagai moderator.

“Ayahnya adalah tukang cat, dia mengajarkan Flip cara-cara menggambar. Saat tahun 45 sampai dengan 49 di Belanda juga ada gerakan sosialis komunis yang anti dengan pengiriman serdadu ke Hindia Belanda. Karena takut dipenjara dan dianggap sosialis, Flip terpaksa ikut wajib militer dan menjadi serdadu begitu,” kata Willy.

Buku yang disusun berdasarkan kisah nyata Flip Peeters ini berakhir mengharukan. Bertahun-tahun dipaksa berpisah dari tanah air, keluarga, dan kekasihnya, Flip akhirnya menemukan kebahagiaan sejati. Inilah kisah lain di seputar perang kemerdekaan yang jarang diungkap ke publik, kisah cinta romantik yang mengalahkan cinta patriotik.