Liputan6.com, Jakarta Musim kemarau adalah waktu yang tepat untuk mendaki Gunung Prau, Wonosobo, Jawa Tengah. Sebab saat kemarau rute pendakian tidak begitu basah sehingga lebih mudah untuk mendaki gunung dengan ketinggian 2.565 meter di atas permukaan laut itu.
Tim Liputan6.com berkesempatan mendaki gunung tersebut pada Sabtu (27/8/2016). Kami berangkat melalui jalur pendakian Patak Banteng. Jalur pendakian itu termasuk favorit para pendaki karena membutuhkan waktu relatif singkat yakni 2-3 jam.
Untuk mencapai jalur pendakian Patak Bateng, dari Wonosobo kami menaiki mobil ke arah Dieng. Mobil mengantar kami sampai base camp, tempat kami membeli tiket masuk ke Gunung Prau.
Advertisement
Tiket masuk Gunung Prau saat ini adalah Rp 10 ribu per orang. Pendaki harus mematuhi aturan yang berlaku seperti tidak membuang sampah di gunung dan tidak menulis di batu atau pohon. Jika melanggar, maka sanksi membeli bibit senilai Rp 20 ribu harus dibayar. Setiap pelanggaran dihargai berbeda-beda, tergantung berat ringannya.
Gunung Prau melalui jalur pendakian Patak Banteng ditempuh dengan jarak yang tidak terlalu lama. Butuh waktu 2-3 jam saja menuju puncak, tetapi jalur pendakian memang cukup terjal. Pendaki pemula mungkin akan berhenti di setiap pos untuk beristirahat.
Karena jarak tempuh menuju Puncak yang cukup singkat, maka banyak pendaki yang pulang-pergi atau dikenal dengan istilah "tek-tok". Biasanya, pendaki ingin melihat matahari terbit di puncak Prau yang tersohor itu. Sehingga, pendaki berangkat pukul 02.30 WIB untuk sampai saat matahari terbit.
Namun, pendaki bisa pula berkemah di Sunrise Camp di puncak Prau. Biasanya pendaki yang ingin berkemah mendaki pada pagi hari yakni sekitar pukul 06.00 sehingga sampai di puncak sekitar pukul 09.00 WIB.
Di awal perjalanan, pendaki akan menemui trek seperti tangga. Kemudian dilanjutkan batu-batu yang diratakan dengan sudut cukup menukik. Menuju pos satu yang disebut Sikut Dewo, pendaki akan melihat perkebunan kentang dan wortel di sekitar jalur pendakian. Selanjutnya trek akan lebih banyak tanah dan bebatuan sampai tiba di pos dua.
Jarak pos dua ke pos tiga cukup jauh dan terjal. Namun pos tiga yang disebut Cacingan berupa pohon-pohon besar dengan akar yang mengikat tanah. Itu juga yang membuatnya dinamakan cacingan karena bentuknya seperti cacing.
Sesampai di pos tiga menuju puncak, treknya lebih terjal lagi. Sesekali, kami harus merangkak karena jarak batu pijakan ke pijakan lainnya cukup tinggi. Terlebih perjalanan kami lakukan dini hari saat masih gelap.
Udara di puncak Prau saat itu cukup dingin yakni sekitar 9 derajat Celcius dengan angin yang cukup kencang. Jaket tebal yang tadinya belum kami pakai selama masih mendaki akhirnya harus kami pakai di puncak untuk melawan dinginnya angin gunung.
Tak lama, matahari terbit yang terkenal itu tiba pula. Namun, awan dan kabut saat itu cukup tebal sehingga menghalangi sinar matahari. Sekitar 10 menit kami menunggu, sinar matahari mulai keluar malu-malu dari balik awan. Perbukitan di puncak Prau yang sering disebut dengan Bukit Teletubbies itu pun mulai disirami cahaya, membuatnya terlihat lebih cantik.
Tak hanya itu, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang berada tak jauh dari Prau juga terlihat meski diselimuti awan dan kabut. Meski tak dapat melihat matahari terbit dengan sempurna di puncak Prau, keindahan pemandangan selama di perjalanan naik maupun turun menjadi pemuas kerinduan pada alam.
Â