Sukses

Permainan Tradisional Anak Mengajarkan Kita Toleransi

Toleransi menjadi barang mahal di tengah masyarakat yang semakin individualis.

Liputan6.com, Jakarta Di tengah gempuran dunia digital dan semakin berkembangnya sikap hidup individualis, permainan tradisional masih menjadi jurus ampuh untuk mengenalkan kembali nilai-nilai kebersamaan dalam keberagaman kepada anak-anak. Hal tersebut setidaknya diutarakan Zaini Alif dari Komunitas Hong saat saat ditemui Liputan6.com di acara Festival Permainan Tradisional Anak Indonesia yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah, Minggu (11/12/2016).

Zaini Alif mengatakan, dengan digelarnya festival ini tiap tahun anak-anak bisa mengenal kembali dirinya, mengenal jati diri bangsanya, dan mengenal keberagaman lingkungan serta kebudayaannya. “Permainan tradisional itu aset budaya bangsa yang sekarang mulai ditinggalkan, karena munculnya gadget. Kita tidak anti-pati sama gadget, tapi bagaimana menyeimbangkan gadget dengan permainan tradisional, karena permainan tradisional mengajarkan banyak nilai, tentang etika, identitas budaya bangsa,” ungkap Zaini.

Tak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat anak-anak Indonesia semakin banyak yang kecanduan gadget. Data Asia Parent mengungkap, sebanyak 99 persen anak lebih suka menghabiskan waktunya dengan gadget saat di rumah, 71 persen anak akan sibuk dengan gadget saat berpergian, 70 persen di rumah makan, 40 persen di rumah temannya, dan 17 persen anak-anak sibuk dengan gadget saat jam istirahat sekolah. Hal ini tentu menjadi peringatan bagi orangtua karena anak-anak mereka terancam kurang sosialisasi yang menyebabkan sang anak menjadi tidak peka dengan lingkungan sekitarnya.

“Banyak permainan tradisional di Indonesia yang bukan hanya menyajikan keseruan, tapi juga kaya akan nilai-nilai. Misalnya di Jawa ada Dingklik Oglak Aglik, di Sunda ada Parepet Jengkol, dan sebagainya, itu kan mengajarkan bagaimana kita bersama-sama dengan yang lain. Artinya kita diajarkan toleran dengan yang lain. Jadi perbedaan bukan menjadi sesuatu yang harus diperdebatkan, justru itu bisa menjadi suatu keunggulan,” kata Zaini.

Komunitas Hong sendiri sebagai paguyuban yang peduli terhadap keberadaan permainan tradisional anak, terus bekerja agar ribuan aset bangsa ini tidak punah dan hilang begitu saja karena tidak ada lagi yang mau memainkan.

“Sekarang kami sedang konsentrasi bikin museum, kami bekerjasama dengan beberapa kementerian keliling Nunsatara, mengumpulkan dan memperkenalkan kembali permainan tradisional. Sampai sejauh ini, Komunitas Hong telah berhasil mendata lebih dari 2.600 permainan tradisional anak dari seluruh daerah di Indonesia. Kita sedang bangun di Bandung di Dako Pakar, meskipun kecil itu paling tidak kita sudah memulai. Agar semua orang tahu permainan tradisional kita itu banyak, dan itu menjadi kebanggan kita seharusnya sebagai bangsa Indonesia,” kata Zainal.

Meskipun dirasa terlambat, mengingat negara lain telah lama mendirikan museum permainan tradisional, Zaini mangakui ada itikad baik dari pemerintah untuk menjaga dan melestarikan aset budaya bangsa yang tak ternilai harganya ini.

“Kita mulai bergerak, karena melihat di seluruh di dunia sudah melakukan itu, di negara-negara lain mereka sudah punya museum, Malaysia punya satu, Jepang bahkan punya tiga, Indonesia belum punya museum khusus permainan tradisional anak Indonesia,” katanya menambahkan.

Ke depan, Zaini Alif dan komunitasnya mengharapkan, tiga puluh tahun lagi anak-anak zaman sekarang yang merupakan generasi emas para pemimpin bangsa di era 100 tahun Indonesia, adalah anak-anak yang dapat mengenali keberagaman bangsanya, bertoleransi, serta menjaga dan melestarikan kebudayaannya.