Sukses

Tangkal Hoax, Ditjen Kebudayaan Rumuskan Tiga Kebijakan

Hoax di media massa dan media sosial dianggap dapat mengancam kebudayaan nasional, Ditjen Kebudayaan rumuskan tiga kebijakan.

Liputan6.com, Jakarta Penyebaran berita palsu atau hoax menjadi salah satu permasalahan penting yang dihadapi oleh pemerintah saat ini. Bahkan 800 situs di Indonesia diperkirakan menjadi wadah penyebaran berita palsu dan ujaran kebencian yang dilontarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Untuk menanggulanginya, Ditjen Kebudayaan merumuskan tiga kebijakan prioritas.

Tiga rumusan kebijakan yang akan dilaksanakan antara lain, pertama, membentuk channel TV kebudayaan yang memberikan wawasan kebudayaan nasional. Kedua, mendorong penguatan karakter dengan bacaan kesusasteraan nasional dalam bentuk digital. Ketiga, memperluas akses dan kesempatan warga untuk terlibat aktif dalam kebudayaan sehingga dapat meningkatkan peran aktif dalam ekspresi budaya yang sehat.

Dalam kesempatan temu media di Kemendikbud, Rabu (1/2/2017), Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan mengatakan, “Banyak yang sudah melek teknologi, tapi banyak pula yang masih tertipu bahkan di tingkat professor doktor. Hal ini terjadi karena literasi media yang tidak merata di seluruh generasi."

Permasalahan hoax sendiri menjadi ancaman serius di berbagai belahan dunia. Melalui media sosial, portal berita daring, group chat, sms broadcast, dan berbagai wahana komunikasi lainnya, hoax dapat menyebar dengan cepat. Permasalahan ini tentunya juga menjadi ancaman serius bagi kebudayaan nasional, karena berita hoax yang diproduksi secara masif sehingga tampak sebagai kebenaran. Dengan demikian, perlahan-lahan wawasan kebangsaan yang berbasiskan sejarah tergerus oleh penafsiran ulang lewat hoax.

“Kalau literasi buku, kekurangan buku menjadi sebuah batasan. Kalau literasi media? Sekali masuk kedalamnya, tidak ada batasan. Karena itu, penggunanya harus diberi pelajaran bagaimana membatasi dirinya. Namanya saja sudah media sosial, kepercayaannya muncul karena pertemanan yang menentukan hoax yang disebar bisa dipercaya atau tidak,” ungkap Hilmar.