Liputan6.com, Jakarta Diaspora Jawa atau keturunan Jawa yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara dan dunia berkumpul di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Acara yang dipusatkan di Benteng Vredeburg Jogja, dihadiri ratusan peserta orang jawa dari Suriname, Belanda, Malaysia, Singapura, hingga Kaledonia.
Singgih Rachmawan Seksi Program Javanese Diaspora Event (JDE) III mengatakan, kegiatan tahun ini merupakan yang paling lengkap dibandingkan event sebelumnya. Sebab peserta dari berbagai negaa ini mengikuti kegaitan selama seminggu penuh. Peserta diajak untuk belajar bahasa Jawa, seminar, makan malam dengan raja keraton Yogyakarta dan kuliner Jawa.
"Secara keseluruhan tujuan kami un tuk silaturahmi dalam rangka uri uri budaya jawa tapi kedepan agar masyarakat jawa tetap memegang identitasnya demi kemajuan ini," ujar Singgih, Sabtu (22/4/2017).
Advertisement
Singgih mengatakan, dengan mengusung tema "Ngumpulke Balung Pisah", acara ini diharapkan mempu menjalin erat persaudaraan yang terpisah oleh jarak dan dapat terus terjaga. Ia berharap dari kegiatan ini nantinya akan ada satu film atau dokumentasi terkait acara ini. Contohnya adalah film Jaji yang dibuat keturunan Jawa yang tinggal di Suriname.
"Kami berusaha ke situ setidaknya satu story dalam bentuk buku. Bahan pelajaran dan pengalaman ke depan untuk tujuan memupuk dan melestarikan budaya Jawa. Film Jaji sudah diputar. "Jaji" itu artinya saudara sekapal orang suriname dikirim pakai kapal, satu kapal dianggap sebagai satu saudara," ujarnya.
Singgih mengaku, kondisi orang Jawa di luar negeri saat ini mampu berkembang mengikuti kemajuan zaman. Bahkan beberapa dari mereka menjadi salah satu tokoh di negara tersebut. Walaupun jauh ternyata akar budaya jawa masih mereka jaga hingga saat ini.
"Singapura, Malaysia, di sana mereka bisa bahasa Johor. Wakil Perdana Menteri Malaysia, Pak Hamidi, itu orang Wates Kulonprogo bahasa Jawa-nya alus," ungkap Singgih.
Sementara itu Mariette Karsinem Mingoen, orang Jawa yang tinggal di Suriname juga mengaku sangat senang dengan acara ini. Ia berharap agar dapat menjaga erat silaturahmi dengan leluhurnya. Dirinya merupakan generasi ketiga setelah buyutnya pertama kali datang di Suriname. Ia mengaku saat itu leluhurnya memulai kehidupan di Suriname dengan perjungan keras.
"Waktu saya kecil masih kerja diperkebunan saya sendiri di perkebunan jeruk, waktu itu juga ada perkebunan kopi. Tahun 1954 saya lahir, dari situ mulai setelah Perang Dunia II orang Jawa mulai urbanisasi ke kota ke Paramaribo," kata Mariette.
Lebih jauh Mariette mengatakan, saat ini generasi muda Jawa sudah mulai maju. Banyak dari anak-anak Jawa yang mendapat pendidikan hingga perguruan tinggi. Bahkan di antara generasi muda sudah memegang peran penting di Suriname, mulai dari ekonomi hingga politik.
"Sekarang di suriname sudah maju, lebih maju dari tahun 60-an. Banyak yang sudah masuk universitas. Lebih banyak yang perempuan. Jadi bisa dikatakan, pendidikan Suriname sekarang sudah maju," ujarnya.
Namun demikian, Mariette mengakui saat ini kebudayaan Jawa di Suriname mulai luntur. Anak-anak muda mulai cenderung menggunakan bahasa Belanda atau Suriname dibandingkan bahasa Jawa. Namun ia yakin generasi muda saat ini mengerti dan paham jika akar budayanya adalah Jawa.
"Kami sekarang di negara asing bagaimana pun ada pengaruhnya. Yang penting asal tahu diri. Bahasa itu penting tapi di sana untuk bisa maju harus pakai bahasa setempat. Asal tidak lupa bahwa saya ini orang Jawa," katanya.
Hal berbeda diungkapkan Ivone Poniyem, orang Jawa dari Belanda. Menurutnya di Belanda, kesenian dan kebudayaan Jawa masih terjaga dengan baik.