Sukses

Meluruskan Kembali Kritik Sastra yang Kehilangan Arah

Minimnya polemik dapat dipahami bila publik menempatkan polemik sebagai gejala perbedaan yang fundamental tentang hakikat dan fungsi sastra.

Liputan6.com, Jakarta Dasmir (50 tahun), seorang guru SMP di Bukittinggi, Padang, Sumatera Barat, mempertanyakan tak adanya acuan dalam mengajarkan esai dan kritik sastra dalam kurikulum Bahasa Indonesia. Walhasil, keluhnya, anak-anak tak cinta dan tak suka menulis kritik dan esai. Hal itu ditambah dengan sulitnya mendapatkan novel-novel berkualitas di kotanya.

“Toko buku di kota kami hanya ada satu. Itu pun koleksinya terbatas sekali,” ujarnya seraya menggugat dalam acara Seminar Nasional Kritik Sastra pada 15-16 Agustus 2017 di Aula Sasadu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Rawamangun.

Namun, bukan hal itu saja yang mengemuka dalam seminar yang dihadiri para guru, sastrawan, kritikus sastra, peminat bahasa dan sastra, serta pegawai balai bahasa dari seluruh Indonesia tersebut. Soal lainnya adalah asumsi bahwa kritik sastra tengah berjalan mundur dan perlunya definisi ulang kritik sastra.

Martin Suryajaya dalam makalahnya berjudul “Tantangan dan Masa Depan Kritik Sastra Indonesia” mengatakan, “Sebagian orang menafsirkan fenomena ini sebagai mengendurnya fungsi kritik sastra.”

Ia menegaskan, hal itu bisa dipahami apabila publik menempatkan polemik sebagai gejala dari perbedaan yang fundamental tentang hakikat dan fungsi sastra. Jika di masa lampau sempat ada perbedaan pendapat soal polemik metode ganzheit tahun 1968, pengadilan puisi tahun 1974, debat sastra kontekstual tahun 1984, polemik hadiah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer tahun 1995, kini sepertinya tak ada polemik sastra yang cukup berarti. Martin menyebut polemik sastra wangi sebagai polemik sastra yang terakhir.

Martin Suryajaya dalam Seminar Nasional Kritik Sastra Membicarakan Tantangan dan Masa Depan Kritik Sastra(15/8)

Martin berpendapat polemik-polemik ini muncul karena sifat masyarakat yang berubah. Perdebatan kini lebih sering terjadi di ruang-ruang media sosial dan berkumpul pada sosok idola. Sehingga, ujarnya, yang terjadi adalah tawuran media sosial membela idola masing-masing. Ia mencontohkan misalnya ada perbedaan prinsip mengenai mana karya sastra yang baik—katakanlah antara penggemar Tere Liye dengan Eka Kurniawan.

Melihat fenomena ini, Martin menyimpulkan kritik sastra di masa depan akan semakin beredar di media sosial dibanding di surat kabar. Apalagi kini sudah tak ada polemik yang dibuat sarasehan lantas hasil pertarungan pemikirannya dibukukan. “Saya kira mengamati perkembangan 10 tahun terakhir akan ke sana (media sosial),” ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa, (15/8/2017).

Memang di masa lampau polemik sastra sempat dibukukan, misalnya dalam Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI (1995) oleh D.S Moeljanto dan Taufiq Ismail, sehingga polemik itu direkonstruksi terus-menerus. Namun demikian, Maman S. Mahayana, dosen sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, mengatakan bukan berarti kritik sastra mengendur. “Di Pikiran Rakyat ada polemik kritik sastra. Di Kompas juga kan ada polemik puisi esai,” ujarnya melalui pesan Whattapp, Rabu, 15 Agustus 2017.

Maman menyebut buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh sebagai polemik kontroversial. Berbeda dengan Martin yang menganggap buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh bukan polemik, melainkan hal yang umum dan akan terus-menerus bakal terjadi sehubungan adanya relasi kuasa. Martin mengatakan salah satu contoh perdebatan yang semacam itu adalah pembabakan angkatan dalam sastra Indonesia.

Berkebalikan, Maman S. Mahayana justru menyebut istilah sastra wangi bukanlah polemik sastra. “Itu istilah untuk ngeledek sastrawati yang cantik lalu dapat panggung di mana-mana,” tutur penulis Kitab Kritik Sastra ini.

Meski demikian, Maman setuju bahwa koran tak melahirkan perdebatan. Alasannya, selain koran tak memuat tanggapan, para medioker cenderung lari ke medsos. Lebih lanjut, ia justru mempertanyakan polemik sastra yang dimaksud itu seperti apa.

Hilangnya peran surat kabar dan majalah sastra sebagai penjaga kritik sastra pun diakui oleh Nirwan Dewanto. Pegiat kebudayaan ini dalam seminar yang sama pada Rabu, 16 Agustus 2017, mengatakan selain berkurangnya interaktivitas terkait kolom sastra dan budaya, kini banyak wartawan yang dipaksa menjadi pengulas seni. Padahal, ujarnya, redaktur seni dan budaya yang benar-benar jeli barangkali kini sudah tidak ada. Sebagai contoh, Nirwan menyebut nama Satyagraha Hoerip yang juga sastrawan dan redaktur di Sinar Harapan.

Simak juga video menarik berikut ini:

2 dari 2 halaman

Revitalisasi Kritik Sastra dan Penghargaan yang Sepadan

Sebagai upaya untuk mendorong bergairahnya penulisan kritik sastra, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2017. Yusi Avianto Pareanom, Ketua Komite Sastra DKJ, mengatakan ajang ini digelar sejak 2007 dan direncanakan bergulir setiap dua tahun sekali, berselang-seling dengan Sayembara Novel DKJ. Namun, hingga kini DKJ baru berhasil melaksanakannya empat kali, yakni pada 2007, 2009, 2013, dan 2017.

Yusi mengatakan, “Yang menggembirakan, pesertanya dari usia belasan hingga 70 tahun, bahkan dari kota-kota di seluruh Indonesia.”

Martin Suryajaya, yang menjadi tim penilai, menambahkan, “Karena tidak dibatasi lima tahun ke belakang, maka topik yang diangkat pun bermacam-macam.”

Ignas Kleden yang menjadi pembicara dalam seminar pada Selasa, 15 Agustus 2017 mengatakan, secara umum kritik sastra adalah medan yang penuh dengan kontroversi. Dalam makalahnya berjudul “Kritik Sastra: Sastra dalam Kritik”, doktor ilmu sastra ini mempertanyakan apakah kritik sastra itu suatu disiplin ilmiah atau suatu disiplin kesusasteraan?

Pada akhir ceramahnya, Ignas Kleden menyimpulkan bahwa kritik sastra adalah juga karya sastra. “…kritik sastra adalah suatu karya sastra dalam bentuk kritik dan bukannya suatu karya ilmiah, kecuali kalau karya ilmiah itu direpresentasikan dalam bentuk yang membenarkannya sebagai sebuah karya sastra.”

Selain itu, Ignas juga mempertanyakan apakah sebuah penulisan kritik sastra harus dilandaskan pada sebuah teori? Apalagi jika teori itu justru mengasingkan karya dari pembacanya. Dia menekankan bahwa, “Tak ada seorang sastrawan pun yang menulis berdasarkan teori.”

Sapardi Djoko Damono Menyarankan Pengertian Kritik Sastra Direvitalisasi (15/8)

Adapun Sapardi Djoko Damono menyatakan kritik sastra sejatinya adalah upaya untuk menjembatani antara karya sastra dan pembaca kepada pengarang, sekaligus sebagai “penasihat” bagi pembaca. Meski diragukan, jika dilakukan terus-menerus, kritik sastra juga bisa menjadi “upaya untuk memperbaiki kesusasteraan.”

”Kritik sastra adalah sebuah uraian tentang segi yang baik dan buruk dalam karya sastra,” tulisnya dalam makalah berjudul “Kritik Sastra: Sejumlah Pokok Pikiran.”

Namun, Sapardi menyatakan dalam kritik sastra itu sendiri banyak “iklan”, sehingga kritik sastra justru bisa bersifat menghalang-halangi pemahaman atas karya. Profesor sastra dari Universitas Indonesia ini menyebut, ”Pemahaman akan muncul dari hubungan langsung antara pembaca dan karya sastra (close reader—pembacaan dekat, red).

Sapardi kemudian menawarkan definisi lain untuk memperluas arti kritik. Dengan cara pandang menurut Sapardi, sebuah komentar atau jempol di Facebook, atau bahkan kicauan di Twitter perihal suatu karya bisa disebut sebagai kritik sastra atau apresiasi.

Jika Sapardi menyatakan siapa saja bisa menjadi kritikus sastra, Nirwan Dewanto berpendapat hanya orang-orang tertentu saja yang secara tekun dan mengikuti terus-menerus dunia sastra bisa menjadi kritikus sastra. Adanya kritikus sastra inilah yang akan menjadi suatu indikator pertumbuhan sastra yang wajar, meski tak selalu memotivasi pengarang.

Maka, bagaimana upaya untuk menumbuhkan dunia kritik sastra yang bergairah seperti era 1970-1980-an? Nirwan mengatakan tak ada cara lain kecuali memperbanyak saluran-saluran untuk penulisan kritik sastra. Salah satunya bisa dengan mengumpulkan tulisan kritik sastra 20 tahun ke belakang dan lantas membukukannya.

“Yang ada sekarang kebanyakan berteriak,” ujar Nirwan.

Yusi sendiri mengaku melalui Sayembara Kritik Sastra, ia ingin mengajak orang menulis kritik lagi. Salah satunya, perlu adanya penghargaan sepadan agar kritik tumbuh menggairahkan. Yusi menyebut hadiah 20 juta untuk pemenang sayembara termasuk kecil.

“Tidak sebanding dengan kerja risetnya,” ujarnya.

Selain itu, ia juga mengusulkan adanya situs khusus kritik sastra yang dikelola secara profesional yang bisa menghadirkan tulisan-tulisan panjang yang digarap secara serius yang tak tertampung di tempat lain.

Yusi berpendapat, pewadahan tulisan kritik di satu tempat bakal memudahkan pembaca mencari tulisan pembanding atau tulisan terkait objeknya yang sama. Hanya saja, tentu perlu dana.

“Pokoknya DKJ mau bikin macam-macam judulnya enggak punya duit, gitu aja,” ujarnya seraya tertawa.