Liputan6.com, Jakarta Sastrawan Hamsad Rangkuti beberapa hari ini terbaring lemah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Depok, Jawa Barat.
Penulis novel Ketika Lampu Berwarna Merah itu sudah tak mampu lagi bergerak. Apalagi beranjak dari tempat tidur. Namun demikian, kabar terakhir bagian matanya sudah mulai bisa berkedip.
Pada 2012, Hamsad pernah operasi by pass jantung. Sastrawan kebanggaan tanah air kelahiran Medan, 7 Mei 1943 itu juga harus membuat saluran pembuangan air kecil di perutnya.
Hamsad Rangkuti dikenal sebagai sastrawan yang secara total mengabdikan hidupnya untuk sastra. Sosok sederhana ini sangat peduli dengan lingkungan sekitar. Sepanjang hidupnya, Hamsad Rangkuti telah melahirkan beberapa karya kanon sastra yang masih dibaca hingga kini. Salah satu karyanya yang paling menarik untuk diperbincangkan kembali adalah novel Ketika Lampu Berwarna Merah.
Novel pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 1980 ini merefleksikan kehidupan para gelandangan dan kaum yang tergusur di Jakarta. Maman S Mahayana, kritikus dan akademisi Universitas Indonesia, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (31/8/2017) mengatakan, novel tersebut mengungkap ada paradoks dari gerak pembangunan yang dilakukan pemerintah.
“Novel itu ingin mengatakan, di satu sisi berdiri bangunan raksasa yang megah dan kokoh dengan para penghuninya yang bergelimang kemewahan, dan di pihak lain, sekelompok besar masyarakat tergusur tak lepas dari penjara kemiskinan,” kata Maman.
Ketika Lampu Berwarna Merah
Masih menurut Maman, ada potret pembangunan yang tidak berpihak pada wong cilik dalam novel tersebut. “Karier” rakyat kecil digambarkan hanya harus berhasil makan untuk hari ini, sekadar bertahan hidup. Kehidupan anak-anak jalanan dan para pengemis yang hanya menadahkan tangan di perempatan lampu merah. Hal berbeda dialami perut para pengendara mobil, yang sudah selesai urusan makan.
“Hamsad Rangkuti coba memotret kehidupan keseharian orang-orang marjinal, terkungkung kemiskinan dan kelaparan. Lalu, bagaimana mungkin mereka bisa bersekolah, hidup tertib, menjalani etika dan norma sosial sebagaimana yang dianjurkan pemerintah, jika dunia mereka hanya sebatas bagaimana bisa bertahan hidup?” ungkap Maman.
Jika dikaitkan dengan kehidupan sosial saat ini, fakta menunjukkan, masyarakat umumnya makin individual, semakin menunjukkan gejala ketidakpedulian atas penderitaan sesama manusia.
Maman menjelaskan, perkara kemiskinan dan kebodohan seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Kemiskinan hari-hari ini menjadi sangat struktural, kultural, dan spiritual menjadi satu kesatuan. Maka, mengeksploitasi sesama gelandangan, memamerkan cacat fisik, pemerasan, tindak kriminalitas, dan pelacuran, hendaknya tidak dipandang dari kacamata etika, norma, hukum, dan agama sebagaimana masyarakat normal memaknainya.
“Mereka tidak mengenal semua ketertiban itu. Hamsad Rangkuti coba mengingatkan pembaca, di sekitar kita, di tengah glamor kehidupan perkotaan, masih terlalu banyak warga bangsa ini yang sehari-harinya hidup hanya berkutat dengan urusan makan,” ungkap Maman.
Pada dasarnya, sastrawan bergerak atas dasar melakukan pembelaan terhadap kemanusiaan. Hamsad Rangkuti di mata kritikus Maman Mahayana telah melakukan itu dengan karya-karyanya yang menekankan cerita orang-orang marjinal yang tergusur oleh perubahan sosial perkotaan.
“Hamsad Rangkuti menyajikan karyanya dengan penuh empati, tanpa menggurui, tanpa kesan melakukan pemihakan. Gambaran itu bisa kita lihat, misal dalam cerpen “Pispot,” “Malam Takbir,” “Di Atas Kereta Rel Listrik” dan cerpen-cerpen lainnya. Karya Hamsad Rangkuti ibarat potret tentang perubahan sosial yang terjadi pada zamannya. Jakarta misalnya, bagi dia, adalah kota yang penuh paradoks,” kata Maman.
Advertisement