Sukses

Kisah Pasukan Terakota dan Guru Sun Go Kong di Xi'an

Nama Xi’an yang ada di Provinsi Shaanxi belum sepopuler Beijing atau Shanghai, padahal tempat ini kaya akan beragam legenda.

Liputan6.com, Jakarta Nama Xi’an yang ada di Provinsi Shaanxi belum sepopuler Senzhen, Beijing, atau Shanghai. Padahal cerita di kota itu tidak ada duanya di dunia. Kisah pasukan patung Terakota,  masuknya agama Islam dan cerita tokoh legendaris Biksu Tong Sam Cong dan Guru Sun Go Kong ada di kota Xi’an

Daerah Xi’an merupakan salah satu peradaban tua dan cikal bakal terbentuknya negara China atau Tiongkok baru. Sejarah Tiongkok lama, yang tercatat dalam prasasti cangkang kura-kura menyebutkan kalau Tiongkok lama dimulai pada tahun 1750 SM. Tapi saat itu Dinasti Shang yang mempunyai wilayah di sekitar sungai Kuning, masih berupa kerajaan kecil.

Baru pada tahun 221 SM, saat tujuh kerajaan-kerajaan kecil saling berperang,  ada seorang raja yang bernama Qin Shi Huang dengan gagah berani membawa pasukannya menaklukan kerajaan lainnya. Setelah itu, Qin yang terlahir dengan nama Ying Zheng akhirnya membentuk Kekaisaran pertama Tiongkok dan sekaligus menyatukan semua kerajaan kecil yang kemudian dimasukan dalam Dinasti Qin.

Pasukan Terakota

Ada  dua proyek super besar saat Dinasti Qin berkuasa. Selain menyatukan wilayah, mata uang dan perundangan-undangan, Qin juga membangun Tembok Besar Tiongkok untuk menjaga wilayahnya. Pada kesempatan yang sama, dia juga membuat makam yang luar biasa besar, yang disertai dengan patung-patung prajurit Terakota untuk menjaga makamnya. Kedua hal tersebut membuat nama Kaisar Qin dari Dinasti Qin begitu melegenda.

“Katanya Kaisar sendiri yang memerintahkan untuk membuat patung prajurit Terakota tersebut. Jadi dia ingin setelah meninggal dia juga ikut menjaga Tiongkok dengan pasukan Terakotanya. Untuk menjaga Tiongkok dari serangan musuh, kaisar juga memerintahkan membuat Tembok Besar China,” jelas Pak Wu, pria 61 tahun yang menemani perjalanan Liputan6.com di Xi’an pada akhir Oktober 2017.

Tapi menurut pria kelahiran Denpasar yang sejak kecil menetap dan bekerja di Xi’an itu, ada versi lain dari pasukan Terakota. “Katanya dulu magic atau ilmu supranaturalnya sangat besar dan kuat. Jadi, para prajurit dan perwira serta perlengkapan perangnya, termasuk kuda dikumpulkan di tempat tersebut. Lalu mereka disihir atau dikutuk jadi patung kemudian dikubur. Tapi sekali lagi itu cuma cerita ya,” terang pensiunan Angkatan Laut China ini.

Pembangunan Terakota dimulai saat usia Kaisar Qin usia belasan tahun. Pembangunan Terakota menghabiskan waktu yang cukup lama, sekitar 25 tahun dengan melibatkan ribuan orang pekerja. Sayangnya, Terakota tidak selesai hingga Kaisar Qin wafat pada usia 43 tahun. Kaisar pengganti harus menunggu sekitar 3 tahun lagi untuk memakamkan Kaisar Qin di Terakota.

Wisatawan yang datang sangat kagum dengan luasnya wilayah makam Terakota. Setiap hari tak kurang dari 10 ribu orang berkunjung ke Terakota. “Jika hari besar atau liburan, yang datang bisa mencapai 50 ribu orang,” jelas pak Wu.

Jika Terakota menghabiskan waktu pengerjaan sekitar 25 tahun dan ribuan orang pekerja, maka Tembok Besar China menghabiskan waktu yang luar biasa panjang dengan banyak tenaga kerja. “Tembok besar China itu selesai dibangun dalam waktu ratusan tahun dan jutaan pekerja. Melibatkan banyak Dinasti kerajaan di China. Menurut catatan sejarah yang ada, pembangunan Tembok Besar China baru benar-benar selesai di era Dinasti Ming,” terang Wu.

 

 

2 dari 3 halaman

Islam di Xi’an

Pembagian wilayah di Xi’an terbilang unik. Daerah yang tidak terlalu besar itu dibagi menjadi dua bagian, Xi’an Luar dan Xi’an Dalam. Sebagai pembatas Luar dan Dalam, pemerintah setempat membuat tembok besar dan sungai dengan lebar 10 meter yang mengelilingi Xi’an Dalam.

“Tujuannya untuk menjaga keamanan Xi’an Dalam yang rata-rata dihuni para pedagang kaya,” jelas Wu.

Xi’an Dalam memang dulunya dihuni oleh para pedagang, baik itu para pedagang asli China, maupun dari manca Negara, terutama dari timur tengah. Sedangkan Xi’an Luar dihuni oleh masyarakat China dari berbagai kalangan.

“Kalau sekarang semua sudah berbaur. Ada 7 juta orang yg menghuni Xian Luar dan 1 juta orang yang menghuni Xian Dalam. Di Xian Dalam banyak sekali orang yang wajahnya seperti wajah Timur Tengah,” papar Wu.

Apakah kedatangan para pedagang Timur Tengah juga membawa Islam ke Xian? Menurut catatan sejarah, Islam masuk ke China sejak 1300 tahun lalu yakni pada masa Dinasti Tang. Saat itu, Kaisar meminta bantuan peralatan perang dan prajurit kepada kerajaan di Timur Tengah. Itu dilakukan untuk menyelesaikan perang saudara yang sudah lama terjadi.

“Tapi masuknya Islam bisa jadi lebih dari itu karena jalur perdagangan dengan Timur Tengah sudah dibuka sebelumnya. Bahkan sebelumnya orang-orang dekat sahabat Nabi juga berkunjung ke China. Khusus untuk Xian, mereka datang karena Kaisar meminta bala bantuan prajurit dari kerajaan Timur Tengah,” terang Imam Masjid Huajeu, Ismail.

Setelah perang usai, para prajurit Timur Tengah itu tidak kembali ke negaranya. Mereka memilih tinggal di sekitar jalan Huajeu dan akhirnya menjadi perkampungan muslim terbesar di Xi’an. Selain itu, mereka juga membangun masjid Huajeu di Xi’an pada 1300 tahun lalu, yang akhirnya menjadi masjid tertua di China. Bentuknya tidak seperti masjid-masjid di Indonesia tapi dibuat seperti bangunan-bangunan yang ada di China pada umumnya.

“Saat itu katanya mereka mendapat pesan untuk menghargai kebudayaan setempat. Makanya mereka membangun masjid seperti bangunan-bangunan yang ada. Mereka sangat toleran dan menghormati budaya orang,” jelas Ismail yang juga Ketua Asosiasi Umat Islam di Provinsi Shaanxi.

Masjid yang menempati lahan sebesar 1.200 meter persegi itu tampak begitu asri dengan pepohonan yang ditata rapi. Bagunan-bangunan di sekitar Masjid juga dibuat meyerupai kuil yang ada di China. Satu bangunan Utama sebagai tempat Salat yang mampu menampung sekitar 1.000 orang. Kemudian ada beberapa bangunan sedang dan kecil sebagai tempat belajar dan ruang para guru.

“Bangunan boleh beda dengan kebanyakan masjid yang ada di Negara lain, tapi fungsinya sama saja,” ujarnya.

Saat ini para wisatawan lebih mengenal lokasi Masjid Huajue tersebut dengan nama Gang Muslim. Setiap harinya, orang dari berbagai daerah berwisata ke masjid tersebut. Umat muslim bisa datang gratis. Sedangkan umat non muslim diharuskan membayar sekitar 25 Yuan atau Rp 50 ribu untuk masuk dan menikmati suasana masjid.

Berbagai cinderamata juga melengkapi keragamanan yang ada di Gang Muslim. Wisatawan bisa tawar menawar harga untuk mendapatkan barang-barang khas Gang Muslim dan ornamen China yang diinginkan. “Sebelum beli tanya dulu dan tawar ya,” kata pak Wu mengingatkan.

Selain cenderamata, pesona kuliner di Gang Muslim juga begitu menggoda. Yang paling banyak mendapat perhatian para pengunjung adalah toko-toko makanan yang mengolah daging kambing menjadi makanan super lezat.

Ada satu makanan yang paling digemari, yakni Sate. Bentuknya besar, mirip seperti sate Klatak di Yogyakarta. Tapi, jika sate Klatak menggunakan jeruji besi dan tidak berbumbu, maka Sate ala Gang Muslim menggunakan batang pohon dengan panjang 40 cm dan dibumbui rempah-rempah khas China.

 

 

3 dari 3 halaman

Kisah Biksu Tong Sam Cong, Guru Sun Go Kong

Penggemar film atau serial Sun Go Kong banyak yang bertanya-tanya apakah kisah itu nyata. Ternyata di sebelah selatan kota Xi’an, provinsi Shaanxi, China ada kuil yang begitu eksotis bernama Giant Wild Goose Pagoda atau Pagoda Angsa Liar Raksasa, yang merupakan bukti kuat kisah perjalanan Biksu Tong Sam Cong ke daerah barat untuk menemui gurunya. Patung Biksu Tong Sam Cong setinggi 5 meter berdiri tegak di depan Giant Wild Goose Pagoda.

Perjalanan ke wilayah barat yang dimaksud adalah India. Ya Biksu Tong Sam Cong memperdalam agama Buddha ke gurunya di India.

Berdasarkan catatan-catatan yang dibuat selama perjalanannya, Biksu Tong Sam Cong mulai berangkat ke India saat berusia 28 tahun. Awalnya dia jalan sendiri. Tapi di perjalanan, dia akhirnya bertemu banyak orang yang kemudian menjadi murid-muridnya.

Sepanjang perjalanan ke India, Tong Sam Cong didampingi oleh ribuan murid yang datang silih berganti. Semua itu dicatat dengan baik oleh Tong Sam Cong. Dari catatan yang jumlahnya mencapai ribuan lembar, Biksu tong membagi spesifikasi muridnya dalam beberapa kategori yaitu, Sun Go Kong, tipe murid yang pintar, liar, egois, banyak akal, keras kepala, dan susah diatur. Cu Pat Kai, tipe murid yang rakus, serakah, ingin kedudukan tinggi, dan gila harta benda. Wu Ching, tipe murid yang lemah sehingga butuh dukungan dari gurunya terus menerus dan lemah batin.

Jadi, sebenarnya Sun Go Kong, Cu Pat Kai, dan Wu Ching itu tidak benar-benar ada. Nama mereka dibuat untuk mengelompokan karakter-karakter dari murid Biksu Tong Sam Cong.

Saat di India, Biksu Tong Sam Cong diberikan sekitar 3000 buah buku catatan dari sang Guru. Sayangnya, perjalanan yang panjang dan cuaca yang tidak mendukung serta banyaknya pencuri membuat Biksu Tong Sam Cong kehilangan banyak buku catatan, baik catatannya sendiri maupun catatan dari Sang Guru.

Pada usia 44 tahun, akhirnya Biksu Tong Sam Cong dan murid-muridnya tiba kembali di Kota Xi’an. Mereka pun langsung membuat kuil di lokasi yang sekarang berdiri Wild Giant Goose Pagoda. Awalnya banyak kuil yang dibangun, tapi sekarang ini hanya ada beberapa kuil yang masih berdiri megah.

Di dalam dua kuil terbesar, kami melihat Patung Buddha berwarna kuning berkilau. Warna kuning yang ada di patung tersebut ternyata emas asli. Setiap tahun, patung Buddha selalu dilapisi emas agar kilaunya tetap terjaga dengan bagus.

Setelah puas melihat-lihat sekitar, kami pun mencoba naik ke Pagoda. Dengan 30 Yuan atau setara 60 ribu, wisatawan bisa masuk dan melihat-lihat koleksi, mulai dari patung Buddha kecil yang ditaruh dalam kotak kaca, hingga catatan yang di dapat Biksu Tong dari gurunya.