Sukses

Sastra dan Hoax, Serupa tapi Tak Sama

Sastra, hoax, dan ilmu humaniora punya keterkaitan yang menarik. Melani Budianta menjelaskannya dengan sangat apik.

Liputan6.com, Jakarta Di zaman globalisasi seperti sekarang ini, arus informasi beredar sangat cepat. Sebagai orang yang memproduksi dan mengonsumsi informasi, kita tidak bisa menghindar dari keadaan semacam itu.

Akibatnya, kita mampu menjangkau segala jenis informasi tanpa ada sekat-sekat. Namun, kemungkinan terburuk, informasi tersebut bisa jadi menyesatkan kita, karena ia mewartakan sebuah kebohongan, atau istilah lainnya: hoax.

Melani Budianta menjelaskan, hoax merupakan salah satu kata yang memang tengah populer. Kata tersebut sering muncul di mana-mana dan bergaung dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, seringnya kata hoax itu muncul, daya jual yang dimilikinya pun tinggi. 

“Pertanyaan dasarnya, peradaban macam apa yang ditandai oleh hoax? Tanda-tanda zaman macam apa yang muncul?” kata Melani dalam abstraknya di sebuah acara bertajuk Bincang Tokoh #10: Sastra, Hoaks dan Humaniora yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Rabu, 17 Januari 2018

Sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya UI, Melani juga mempertanyakan soal bagaimana peran sastra dan ilmu humaniora dalam menyikapi kecenderungan yang tengah terjadi.   

Menurutnya, dunia yang ada di balik hoax terbagi menjadi tiga era. Di era pertama yakni era pasca-kebenaran. Dalam era ini, yang penting bukan kebenaran dan fakta objektif, melainkan opini yang terkait emosi dan keyakinan personal.

Melani melanjutkan, era selanjutnya yakni era banjir informasi. Dalam era ini, tidak ada lagi "gate keeper" untuk menyaring segala bentuk informasi. Kemudian pada era terakhir yakni era klikisme, di mana kebutuhan secara cepat menyebar atau membagikan informasi yang diterima melalui media sosial.

Ketiga era tersebut dikaitkan oleh Melani dengan konteks global yang semakin kompleks, ditambah dengan kemunculan berbagai macam kelompok yang memproduksi hoax. Secara eksplisit, Melani merujuk kepada kelompok-kelompok tertentu, seperti Bumi Datar (Flat Earth). 

 

 

 

2 dari 2 halaman

Pekerjaan bagi Ilmu Humaniora

Setelah membahas soal hoax dan fenomenanya, Melani melanjutkan pembahasan ke soal sastra dan hoax itu sendiri.

Pihak DKJ dalam keterangan mengatakan, “Sastra hoax secara sederhana merupakan karya yang menjungkirbalikkan persepsi pembaca tentang sastra itu sendiri, mencampuradukkan apa yang real dan apa yang tidak real. Sifat dari hoax itu sendiri sebenarnya adalah fiksi. Sedangkan sastra adalah sebuah cerita fiksi; sebuah cerita rekaan yang bukan berarti sesungguhnya.”

Bahkan, dalam keterangan tersebut, beberapa pendapat mengatakan bahwa sastra itu hoax.

Akan tetapi, Melani menjelaskan bahwa sastra jelas berbeda dengan hoax. “Sastra adalah fiksi untuk mengungkap kebenaran, sedangkan hoax adalah rekaan untuk memalsukan kebenaran,” ujar akademikus lulusan Southern Carolina University tersebut.

Bahkan, tambah Melani, sastra (seni dan humaniora) memiliki kemampuan untuk membayangkan masa depan manusia dan kemanusian.

Ia mencontohkan beberapa karya seperti 1984 karya George Orwell, di mana karya tersebut kembali booming pasca terpilihnya Donald Trump sebagai orang nomor satu di AS. Karya yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1949 itu, menurut Melani, bercerita soal masa depan di tahun 1984, di mana aktivitas manusia pada tahun tersebut diawasi oleh kamera pengintai.

“Dalam One Hundred Years of Solitude (baca: Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez), ada adegan yang membuat saya merasa bahwa ini adalah kejadian di tahun 1998,” kata Melani menambahkan daftar judul karya lain yang serupa.

Untuk konteks budaya, Melani menjelaskan bahwa pekerjaan ilmu humaniora yakni mempersoalkan kembali apa artinya manusia dalam era digital dan era pasca-kebenaran. Ia juga mengatakan, peran seni dan sastra serta humaniora sangatlah penting di dunia yang semakin kompleks ini, di dunia di mana hoax tengah populer dan marak.

“Sastra dan humaniora bisa menjadi ruang pembelajaran alternatif,” kata Melani. “Seperti berpikir kritis, memilih dan menciptakan kembali sesuai dengan konteks zamannya, juga berdialog dan memahami satu dengan yang lain."