Sukses

Memahami Drama Kebohongan Ratna Sarumpaet dari Kacamata Psikolog Klinis

Ada satu hal yang paling fatal dari kebohongan yang diciptakan Ratna Sarumpaet menurut psikolog klinis Kasandra Putranto. Apa itu?

Liputan6.com, Jakarta - Ratna Sarumpaet buka suara terkait kabar penganiayaan yang dialami setelah foto wajah lebamnya beredar luas di media sosial. Melalui konferensi pers yang dilakukan di kediamannya di Jakarta Timur, Rabu siang, 3 Oktober 2018, Ratna mengaku penganiayaan itu adalah cerita bohong.

Selain meminta maaf kepada keluarga dan banyak pihak, ibunda aktris Atiqah Hasiholan tersebut menjelaskan ia datang ke rumah sakit untuk menemui dokter bedah plastik pada 21 September 2018. Hal itu dilakukan untuk menyedot lemak di pipi kirinya.

Di sisi lain, ada pernyataan Ratna yang tidak kalah menjadi sorotan banyak pihak. Merasa bersalah atas kebohongan yang telah ia sebarkan, Ratna pun melabeli dirinya sendiri sebagai pencipta hoaks terbaik.

"Kali ini saya pencipta hoaks terbaik. Ternyata, menghebohkan semua negeri. Mari kita ambil pelajaran dan bangsa kita ini dalam keadaan tidak baik, seperti yang saya lakukan ini. Mari kita hentikan," tuturnya.

Berbicara kebohongan yang diungkap sendiri oleh Ratna Sarumpaet, psikolog klinis Kasandra Putranto memberikan tanggapan mengenai alasan seseorang yang akhirnya mau mengakui kebohongan.

"Karena sudah terbongkar lengkap dengan bukti," kata Kasandra Putranto kepada Liputan6.com pada Rabu, 3 Oktober 2018.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Memaafkan dan Kondisi yang Tak Kondusif

Kasandra menyatakan semestinya masyarakat dapat memaafkan kebohongan seseorang, begitu pula dengan hoaks yang disebarkan Ratna Sarumpaet. Apalagi, kata dia, seseorang yang sudah mengakui kebohongannya sendiri bisa jadi berada dalam situasi pelik yang tidak terhindarkan sehingga menghasilkan rekayasa berdampak besar.

"Namun sayangnya, kita sedang berada dalam konteks situasi kondisi yang tidak menguntungkan, berupa kedukaan atas bencana alam," tutur Kasandra.

Situasi tersebut ditambah dengan beberapa pemicu lainnya. Di antaranya, rekam jejak perilaku Ratna selama ini. Menurut dia, perempuan 69 tahun itu dikenal selama ini mengkritik pemerintahan dengan kalimat yang menimbulkan sakit hati atau tidak suka pada orang lain.

Hal lain adalah tindakannya yang tidak memperhitungkan dampak luas kebohongan yang diciptakan. "Dan ini yang paling fatal, bahwa kebohongan dan viralnya telah mengakibatkan kebencian bagi masyarakat," katanya.