Liputan6.com, Jakarta Beberapa hal menarik tersaji di Wonderful Indonesia Gastronomy Forum 2018. Acara yang belangsung pada 22-23 November 2018 di Aryadutta Hotel, Jakarta, ini menghasilkan beberapa formula strategis. Salah satunya, mengangkat tempe sebagai produk lokal Indonesia yang mendunia.
Ternyata, pecinta tempe begitu banyak. Bahkan, banyak yang memproduksi tempe sendiri di negara lain. Pencinta tempe di luar negeri menjulukinya sebagai magic food alias makanan ajaib.
"Tempe itu sudah diproduksi di mana-mana. Di Australia, Asia Pacific, bahkan Amerika dan Eropa. Nilai jualnya tinggi. Dan yang terpenting ini semakin mengangkat nama Indonesia yang merupakan asal tempe," ujar Ketua Tim Percepatan Wisata Belanja dan Kuliner Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Vita Datau Messakh, Senin (25/11/2018).
Advertisement
Salah satu orang yang paling berperan dalam membawa tempe menembus dunia adalah Rustono. Seorang pengusaha tempe sukses di Jepang. Tempe hasil produksinya tak hanya beredar di Jepang, tetapi tempe yang dilabeli merek Rusto’s ini juga sudah menembus pasar dunia. Sebut saja Meksiko, Korea, Brasil, Polandia, dan Hongaria.
Tempe buatan Rustono juga dipakai dalam menu penerbangan maskapai Garuda Indonesia rute Osaka-Denpasar. Tempenya dijual dengan harga sekitar 350 yen atau Rp 40.000 per 250 gram.
"Rustono menjual tempe mentah. Ini menjadikan pelanggannya bebas untuk berkreasi dengan tempe. Para koki restoran dan hotel mengolah tempe menjadi lebih dari 60 menu tempe berbeda, seperti teriyaki tempe, sandwich tempe, tempe rumput laut, ataupun dicampur dengan salad. Para koki ini menyebut tempe sebagai magic food, makanan ajaib," ucap Vita.
Kini, bukan hanya Rustono yang memproduksi tempe di luar negeri. Ada juga Ana Larderet, perempuan cantik asal Perancis yang memproduksi tempe terkenal di negara asalnya. Perkenalan Ana dengan tempe berawal ketika ia kuliah satu tahun di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak saat itu, tempe menjadi makanan kesukaannya.
Di Australia, juga ada warga lokal, Amita Buissink, yang jatuh cinta kepada tempe. Ia bahkan mengproklamirkan diri sebagai duta tempe. Tak hanya memproduksi tempe di Margaret River Tempeh, Australia Barat, tetapi ia juga menularkan ilmu fermentasi tempe kepada anak-anak sekolah.
Amita pun sering diundang menjadi pembicara tempe. Bukan itu saja, selama tujuh tahun memproduksi tempe, rasa tempe buatan Amita sama persis seperti tempe tradisional produksi perajin Indonesia. Kini, dirinya membuat inovasi baru dengan keragaman tempe non-kedelai.
"Harga jual tempe di Australia delapan kali lebih tinggi daripada di Indonesia. Sedangkan di Perancis, tempe buatan Ana dibandrol harga sekitar 4 euro-8 euro (1 euro setara Rp 15.000). Tetapi peminatnya tetap banyak. Ini menandakan tempe dapat menjadi duta kuliner Indonesia," kata Vita.
Di tempat terpisah, Menteri Pariwisata, Arief Yahya, mengatakan bahwa cara paling efektif dan halus untuk mempopulerkan sesuatu ke pasar global adalah melalui diplomasi sosial-ekonomi. Salah satunya, melalui kuliner.
"Dengan menjalankan diplomasi kuliner, kita melakukan penetrasi ke suatu negara tapi mereka tidak merasa. Saat ini, Kemenpar telah menetapkan national foods yang sudah populer di media massa dunia, yakni rendang, nasi goreng, sate, soto, dan gado-gado. Tempe dapat menjadi salah satu national food yang mengangkat nama Indonesia karena namanya sudah mendunia dan digemari warga negara asing," ujar Menteri asal Banyuwangi tersebut.
Dirinya menambahkan, tingginya minat warga asing terhadap tempe juga merupakan peluang untuk menarik wisatawan ke Indonesia. Salah satunya dengan membuka kelas untuk belajar memproduksi tempe. Misalnya, di Rumah Tempe Indonesia di Bogor. Tempat tersebut kerap kedatangan wisatawan mancanegara yang ingin menimba ilmu membuat tempe.
"Tempe begitu digandrungi di tingkat dunia, ini menjadi peluang bagus mengangkat national brand sekaligus menarik wisatawan berkunjung ke Indonesia. Saya bangga sebagai bangsa tempe. Salam tempe! Salam Pesona Indonesia," ucap Arief.
(*)