Sukses

Indonesia dan 106 Negara Lain Bidik Wisawatan Tiongkok

Wow, 107 negara berebut pasar wisatawan Tiongkok.

Liputan6.com, Jakarta Wisatawan asal Tiongkok terkenal rajin berlibur ke luar negeri. Mereka pun menjadi pasar utama banyak negara, bahkan hingga 107 negara.

Hal tersebut terbukti dari 107 negara yang menjadi peserta di China Internasional Travel Mart (CITM) 2018. Kegiatan ini berlangsung di Shanghai New International Expo Center (SNIEC), pada 16 - 18 November 2018. 

Adapun negara-negara hadir pada gelaran CITM 2018 antara lain Gambia, Kenya, Marocco, Zimbabwe, dan Afrika Selatan. Dari Amerika ada Brazil, Kanada, Chile, Mexico, Peru, dan United States.

Kemudian, dari benua Eropa, antara lain ada Prancis, Jerman, Belanda, Denmark, Italia, Rusia, Spanyol, Norwegia, Polandia, dan Switzerland. Sementara itu dari Asia sendiri, selain Indonesia ada Malaysia, Singapura, Jepang, Thailand, Myanmar, Laos, Srilanka, Korea, India, Pakistan, dan Turki. Tak ketinggalan, ada Australia juga.

Menteri Pariwisata Arief Yahya, mengatakan bahwa CITM 2018 memiliki potensi mendatangkan devisa negara sebesar 55,1 juta dollar AS. Bahkan, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) berusaha membidiknya melalui program Business to Business (B2B) dan Business to Consumer (B2C).

“Seperti Indonesia, negara lain pun tertarik dengan CITM 2018. Tak heran, kali ini pesertanya membludak. Padahal, tahun lalu hanya diikuti 50 negara dan 30 negara pada tahun 2016,” ujarnya, Kamis (29/11/2018).

 

Selain pesertanya yang meningkat dua kali lipat, jumlah target transaksinya pun naik signifikan dari tahun sebelumnya. Wajar saja jika kemudian CITM 2018 membidik 70.000 pengunjung dan 2.000 exhibitors.

Dari Indonesia, Kemenpar melibatkan 40 industri dan 10 Dinas Pariwisata (Dispar). Ada dua maskapai yang terlibat, yaitu Garuda dan Sriwijaya. Untuk Travel Agent/Tour Operator, sedikitnya ada 27 nama yang berasal dari 10 provinsi.

Karena itu, Arief sangat menyayangkan adanya polemik berkepanjangan terkait “Zero Dollar Tour”. Sebab, dampaknya sangat serius terhadap kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali. Padahal, berdasarkan Online Travel Agent (OTA) terbesar di Tiongkok, Bali menduduki peringkat satu sebagai The Best Honeymoon Destination 2018.

Untuk menempatkan Bali pada posisi seperti sekarang, tentu bukan hal mudah. Arief harus melakukan strategi promosi untuk pasar China dengan kombinasi Branding, Advertising, dan Selling (BAS).

“Saya sudah ingatkan, jangan biarkan gaduh berkepanjangan. Pariwisata itu industri hospitality, bisnis yang mengedepankan keramah-tamahan. Kalau masalahnya business to business, selesaikan di level asosiasi,” ucapnya.

Arief khawatir, situasi tersebut akan dimanfaatkan atau ditunggangi oleh kompetitor Bali dan sekaligus kompetitor Wonderful Indonesia. Para kompetitor bisa saja memprovokasi agar turis Tiongkok tak lagi ke Bali dan berbelok ke negara lain. Karena itu, semua harus cerdas menyikapi permasalahan ini. Jangan biarkan kegaduhan ini merusak iklim industri pariwisata Indonesia.

Guna mengantisipasi kemungkinan terburuk, Arief sudah berkoordinasi dengan Association of The Indonesian Tour and Travel Agencies (ASITA) untuk bertemu dengan China National Tourism Association (CNTA) dan membuat “White List Tour Agencies – Tour Operators".

“Kedua belah pihak harus sama-sama membuat daftar atau meregistrasi TA-TO, sehingga mudah mengontrolnya ketika ada keluhan. Saya pikir ini cara paling halus dan paling bijak untuk menyelesaikan masalah “Zero Dollar Tour” di Bali. Ibarat menangkap ikan, kita tidak harus membuat airnya keruh. Masing-masing asosiasi bisa saling mengontrol anggotanya untuk menjaga iklim bisnis yang baik,” kata dia.

Sementara itu, Duta Besar Republik Indonesia untuk Tiongkok, Djauhari Oratmangun, mengatakan bahwa pariwisata itu tidak ada perang, semua gembira. Bahkan, Amerika Serikat saja membangun booth besar di arena CITM 2018, meskipun mereka sedang ‘terlibat’ perang dagang dengan Tiongkok.

Ia menjelaskan, ada 150 juta outbounds Tiongkok dan terus naik setiap tahunnya. Mereka memiliki capital, serta hobi belanja dan makan. Mereka juga penggemar pantai, wisata bahari, dan budaya. Selama ini, Djauhari pun berkreasi untuk menarik wisatawan Tiongkok ke Indonesia.

“Kita jangan sampai kalah dengan negara-negara tetangga. Mereka sangat aktif dan agresif mempromosikan destinasinya. Contohnya Thailand yang menjadi sparing partner dan sekaligus "musuh" profesional. Malaysia juga pernah punya masalah dengan Tiongkok, tapi mereka cepat menuntaskan itu. Tanpa harus gaduh,” ujarnya.

Negara Asia lain yang perlu dicontoh ada Hongkong dan Macau. Keduanya berusaha keras dan melakukan promosi pariwisata besar-besaran untuk mencari pasar China.

“Semua memburu pasar China!” ucap Djauhari.

 

 

(*)