Liputan6.com, Jakarta Dalam acara wawancara khusus dengan Radio Elshinta di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Senin (17/12), Menteri Pariwisata Arief Yahya buka-bukaan soal pencapaian sektor pariwisata Indonesia. Dirinya mengatakan kalau sektor pariwisata akan menjadi penghasil devisa terbesar Indonesia.
"Jangan-jangan di tahun 2018 sudah. Jangan-jangan! Semoga ya," ujar Menpar Arief Yahya sambil tersenyum sumringah.
Baca Juga
Keyakinan mantan Dirut Telkom tersebut bukan tanpa sebab. Pariwisata Indonesia terus meroket tajam. Buktinya, tahun 2017 The Telegraph menempatkan Indonesia dalam "Top-20 Fastest Growing Tourism Industry in the World”. Sedangkan di tahun 2018 World Travel & Tourism Council (WTTC) menempatkan Indonesia di posisi ke-9 negara dengan pertumbuhan wisman tercepat di dunia.
Advertisement
Kunjungan Wisman ke Indonesia tumbuh 22%. Angka tersebut berarti 3 kali lipat dibanding rata-rata pertumbuhan regional Asia Tenggara sebesar 7%. Bahkan pertumbuhan dunia saja hanya mencapai 6%. Bukan itu saja, Indeks daya saing Pariwisata Indonesia pun ikut didongkrak. Dari peringkat 70 dunia di tahun 2013, meroket ke posisi 42 besar di 2017.
Tidak hanya itu, pariwisata Indonesia juga memperoleh berbagai prestasi dunia. Tahun 2016, Kemenpar memperoleh 46 penghargaan dunia. Di tahun 2017, Kemenpar memperoleh 27 penghargaan dunia. Sedangkan di tahun 2018 memperoleh 66 penghargaan.
"Bukan hanya penghasil devisa terbesar, tetapi juga menjadi yang terbaik. Pariwisata kita sudah diakui dunia. Salah satu buktinya, Kemenpar terpilih sebagai The Best Ministry Of Tourism atau Best National Tourism Organization (NTO) se-Asia Pasifik di ajang TTG Travel Awards 2018," ujar Menteri asal Banyuwangi itu.
Lantas apa yang membuat pariwisata Indonesia itu bisa begitu hebat? Kuat? Melesat dengan cepat?
"Rahasianya, karena Presiden telah menetapkan pariwisata sebagai leading sector dan sekaligus core ekonomi bangsa," ungkap Menteri Pariwisata Arief Yahya
Dengan dukungan Presiden, tugas Kemenpar semakin mudah. Pasalnya dengan itu Kementerian dan Lembaga lainnya wajib mendukung seluruh percepatan.
"Contohnya 10 Bali Baru. Itu yang menetapkan Presiden. Jadi ketika kita membangun Danau Toba misalnya, otomatis PUPR menyiapkan jalannya. Demikian juga Kemenhub menyediakan bandaranya, menyediakan pelabuhannya. Itu otomatis. Maka dari itu pariwisata melejit menjadi sektor unggulan" ujarnya.
Namun, pertumbuhan pariwisata bukan tanpa hambatan. Hantaman bencana yang terjadi di Tanah Air membuat target kunjungan wisman yang ditetapkan Kemenpar terganggu. Tahun 2017 kejadian erupsi Gunung Agung membuat angka kunjungan wisman melenceng sebanyak 1 juta wisman.
Tahun 2018 malah lebih parah lagi. Ada erupsi Gunung Agung, kemudian hantaman gempa Lombok dan Palu. Deretan bencana ini membuat drop angka kunjungan wisman ke Indonesia. Karena dampaknya bukan saja terjadi di Lombok dan Palu, daerah lain pun ikut terdampak.
"Meskipun gempa hanya terjadi di satu titik di Indonesia, wisatawan mengira semua daerah di Indonesia juga terdampak. Bahkan Bali impact-nya lebih besar lagi. Ini dengan mudah terlihat di bank data Kemenpar. Rata-rata kita kehilangan 1.000 kunjungan wisman atau 500.000 wisman selama 5 bulan," paparnya.
Belum lagi musibah jatuhnya Lion Air. Impactnya cukup memukul angka kunjungan wisman ke Indonesia. Hal ini juga terjadi di Malaysia ketika jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH370.
Kemudian muncul polemik zero dollar tour wisman Tiongkok. Ini juga membuat angka kunjungan wisman merosot. Padahal seperti diketahui, Tiongkok merupakan penyumbang wisman terbesar ke Indonesia.
"Ada bad news dan juga good news-nya. Bad news-nya angka kunjungan wisman di tahun 2018 tidak tercapai. Angkanya di kisaran 16 juta wisman dari target 17 kunjungan wisman. Good news-nya devisanya masih bisa tercapai sekitar 17 milliar USD. Karena spending average per arrival atau rata-rata pengeluaran wisman adalah 1.100 USD. Jadi kalau dikalikan 16 juta wisman angkanya sekitar 17 milliar lebih. Tahun depan kita harus speed up sehingga target tercapai," terang Menpar Arief Yahya.
(*)