Liputan6.com, Jakarta - "Kring," suara bel penanda gerakan pintu kaca berbingkai hijau botol itu sudah hampir tak terdengar. Bunyinya tenggelam dalam cakap orang-orang yang tengah sibuk menyuap makanan dari claypot di depan mereka.
Di antara harum bawang putih, daging yang dibakar, dan cerita sepanjang hari dari pekerja Ibu Kota, terselip kenangan akan sosok nenek (popo dalam bahasa Mandarin), di restoran berukuran mini di kawasan Sabang, Jakarta Pusat tersebut. Kenangan yang terefleksi di namanya, Claypot Popo.
Advertisement
Baca Juga
Memulai usaha sejak 2014, owner Claypot Popo, Florencia Calista Tavares, membawa makanan rumahan yang sudah sangat familier baginya ke level berbeda. "Aku sudah punya base karena menu di sini lebih ke nostalgia aku sama popo (nenek), sama masa kecil aku," katanya saat ditemui di kedainya di Jl. H. Agus Salim, Jakarta, Senin, 11 Februari 2019.
Sudah punya dasar rasa tak membuat Flo, begitu ia akrab disapa, serta-merta menyajikannya mentah-mentah. Ia mengaku, tetap ada research and development sebelum akhirnya mengeluarkan rangkaian menu makanan khas etnis Khek di China ini.
"Khek itu makanannya simple. Bahan yang lumayan sering dipakai bawang putih dan minyak wijen," tuturnya. Jadi, asin dan gurih jadi dominan rasa yang diandalkan di seluruh menu Claypot Popo.
Sementara claypot dijadikan media untuk memanaskan menu siram, baik daging sapi maupun ayam, di sajian lain, ia hanya dijadikan pemanis dalam penyajian. Penambahan vetsin jamur pun dinilai akan memberi cita rasa tertentu.
Flo menjelaskan, ia sangat berhati-hati dalam menyusun menu Claypot Popo. Walau berlabel chinese food, Flo ingin memberi alternatif cita rasa dengan komponen makanan yang berbeda dari kebanyakan sajian khas Tiongkok. "Jadi, sangat mungkin jadi perbendaharaan makanan karena rasanya nggak sebegitu umum," tuturnya.
Demi menjaga orisinalitas resep, Flo bakal melakukan evaluasi rasa sebulan sekali. Hal ini menurutnya penting dilakukan karena chinese food memang tentang human skill dalam memasak. Sementara ia percaya mood koki akan tersalurkan langsung ke makanan yang disajikan.
"Chinese food is all about freshness. Pesan, koki langsung buat. Makanya sangat sulit mempertahankan rasa. Itu juga alasannya Claypot Popo nggak jadi franchise. Taste-nya pasti akan lain," Flo menjelaskan.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Menu Andalan di Claypot Popo
Flo menuturkan, Claypot Popo pernah hanya menjual satu menu, yakni claypot siram daging sapi atau ayam dengan pilihan telur matang atau mentah, di 1,5 tahun pertama. Seiring waktu, penambahan menu terus dilakukan hingga menemukan formasi sekarang.
"After itu, ada menu yang agak jarang orang makan, misua tahu telur asin. Telur asin nggak dicampur apa-apa, betul pure telur asin. Rasanya lumayan light, dicampur misua dan tahu match, balance juga. Ini aman banget buat take away ketimbang claypot siram," jelas Flo.
"Ada dadar caipoh. Itu nasi goreng Hong Kong pakai lobak yang difermentasi, nasi sapi cah bawang putih, ini yang lumayan chinese banget, misua goreng. Menu manis yang tercipta karena pengin kasih menu manis ke market itu locupan ayam asam manis, pakai kecap, pakai madu," tambahnya.
Flo juga berencana menambah menu camilan yang masih autentik chinese. Dengan menu-menu andalan yang sudah disebutkan, Claypot Popo rata-rata menyajikan 100 porsi setiap hari.
Selain di kawasan Sabang, restoran ini juga ada di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Rencananya, pertengahan tahun ini, Claypot Popo akan membuka cabang baru di wilayah selatan Jakarta.
Dengan porsi yang cukup mengenyangkan, makanan di sini dibanderol mulai dari Rp 20 ribu sampai Rp 42 ribu. Menu minumannya dengan pilihan panas dan dingin dijual hanya mulai dari Rp 4 ribu saja.
"Jadi, silakan mampir. Rasanya mungkin nggak familiar buat banyak orang. Bukan chinese food pada umumnya. Aku pribadi bilang worth it untuk dicoba. Senggaknya coba dulu," tutupnya.
Advertisement