Liputan6.com, Jakarta - Di Karet Tengsin, Jakarta Pusat, ada ketoprak yang rasanya nikmat yaitu Ketoprak Betawi yang sudah ada sejak 1970.
Arus lalu-lintas di Jalan Karet Tengsin menuju arah Kampung Melayu padat merayap. Bunyi klakson dari kendaraan roda empat dan roda dua saling bersahut-sahutan malam itu, Kamis pekan lalu.
Beberapa kendaraan roda dua dan empat terlihat menepi di depan gerobak pedagang ketoprak di kiri jalan yang di kanan dan kirinya berdiri gedung-gedung pencakar langit. Mereka berhenti sejenak sambil menunggu arus lalu-lintas agak lancar dengan menyantap ketoprak.
Advertisement
Beberapa orang mengantre sambil duduk di bangku plastik merah yang disediakan Muhammad Fadhil, sang pedagang ketoprak. Sambil bercengkerama dengan pembeli, lelaki berlogat Betawi itu menceritakan tentang usahanya.
Baca Juga
"Dagang ketoprak ini merupakan usaha turun-temurun dari bapak saya. Saya generasi kedua yang dagang ketoprak," kisah lelaki yang akrab disapa Babeh itu.
"Usaha ini saya mulai tekuni sejak 1970," sambung lelaki berusia 62 tahun ini.
Meski usia mulai memasuki senja dan rambut sudah memutih, suara Babeh tetap lantang. Gaya bicaranya pun terdengar blak-blakan.
"Saya dagang di sini sejak 1980-an. Sebelumnya, saya dagang di seberang jalan ini," kata Fadhil menunjuk jalan di seberang fly over.
Sambil mengulek bumbu kacang, gula, dan cabai yang berada di atas cobek, Fadhil terus bercerita tentang usaha ketoprak yang dikelolanya. Tangan kanannya dengan lincah menggerus bumbu ketoprak hingga halus dan menuangkan air rempah dari botol warna hijau.
"Ini bukan sekadar air, tapi sudah dicampur dengan bumbu rempah, seperti lada," ucap Fadhil, "makanya ketoprak saya berbeda rasanya dengan ketoprak-ketoprak lain, seperti ketoprak Cirebon."
Harga Sebanding dengan Rasanya
Tak hanya air bumbu rempah, perbedaan ketoprak buatan Muhammad Fadhil lainnya adalah campuran yang disajikan. Mulai dari mi kering, perasan limau, kentang, dan bumbu kacang.
"Kalau bumbu kacang ketoprak yang lain itu pembuatannya dengan cara digoreng, tapi bumbu kacang yang saya bikin itu proses disangrai. Nggak pakai minyak. Jadi nggak menambah kolesterol," ungkap Babeh.
Untuk satu porsi ketoprak, Babeh mematok harga Rp 20 ribu. Lain halnya jika pakai telor ceplok atau dadar, ia mematok harga Rp 25 ribu.
Dengan harga itu, Babeh menyebut ketoprak buatannya terbilang normal. Tak terlalu mahal dan murah. Selama ini pun tak ada yang mengeluh soal harga, karena ketopraknya kaya bumbu.
"Kalau dagang itu nggak boleh pelit dengan sumbu. Kalau banyak bumbunya, orang (pembeli) akan tambah suka," ujar Babeh.
Bagi mereka yang beli untuk dimakan di rumah, ketoprak Babeh dibungkus dengan kertas koran dan daun pisang. Itu juga yang membedakan ketoprak ini dengan yang lain, kebanyakan pedagang hanya membungkusnya dengan kertas nasi atau dialasi plastik putih.
Ia juga tak mencampur lontong, tahu, bihun, kentang, ke dalam bumbu kacang yang telah dihaluskan dan kemudian diaduk. Ia justru sebaliknya, ia mengiris-iris bahan-bahan terlebih dulu di atas piring atau di atas daun pisang, kemudian bumbu tersebut ditaburkan di atasnya.
"Saya beli ketoprak di sini sejak tahun 1980-an. Rasa ketopraknya enak, bumbunya banyak dan harum limaunya pun sangat terasa. Tapi saya biasanya beli aja, makannya di rumah," kata Suwondo, warga Puri Kembangan, Jakarta Barat.
Senada dengan Suwondo, Razif Hamdi warga Karet Tengsin, Jakarta Pusat mengakui kenikmatan ketoprak buatan Babeh. Ia dan keluarganya sering membeli ketoprak di sini.
"Seminggu bisa dua atau tiga kali beli. Rasa ketopraknya berbeda dengan ketoprak lainnya. Kalau soal harga, sebanding dengan kenikmatan rasanya," kata lelaki berusia 22 tahun ini.
Buka mulai pukul 18.00-24.00 WIB setiap Senin-Sabtu, ketoprak Betawi Babeh terjual lebih dari 50 porsi. Sebelumnya, ia mampu menjual sekitar 80 porsi setiap harinya. "Tapi saya tetap bersyukur bisa menjalani usaha ketoprak ini," tandas Babeh di antara deru kendaraan yang melintas.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement