Liputan6.com, Jakarta - Bagi sebagian orang, nilai rendang mungkin sekadar kuliner pengusir lapar dengan cita rasa lezat tiada dua. Jadi lauk paling populer di jajaran sajian asal Sumatera Barat, seperti makanan khas daerah lain, rendang mengemban sejarah panjang di balik eksistensinya.
"Berbicara rendang dan nenek moyang, pasti tak lepas dari tambo Minangkabau. Tambo ini berarti cerita, legenda, omongan dari mulut ke mulut yang sudah ada dari dulu," kata rendang traveler, Reno Andam Suri, di International Forum on Spice Route (IFSR) 2019 di Museum Nasional, Jakarta, Sabtu, 23 Maret 2019.
Advertisement
Baca Juga
Alkisah, wilayah Gunung Marapi di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, merupakan kawasan pertama nenek moyang menginjakkan kaki di bumi Minang. Rombongan itu disebut sebagai salah seorang anak Christopher Columbus yang berlayar dari India untuk melanjutkan pencarian rempah.
"Jadi, puncak Gunung Marapi itu satu-satunya daratan. Lambat waktu, air laut surut dan sekarang jadi wilayah Tanah Datar," sambung Reno. Menempati wilayah baru, adaptasi banyak dilakukan, termasuk soal makanan.
Memanfaatkan kekayaan alam, ketumbar hijau yang tumbuh di sekitar desa menjelma jadi bumbu yang diandalkan di kawasan itu, hingga akhirnya disisipkan sebagai salah satu penyedap rendang.
Waktu demi waktu berlalu, wilayah Tanah Datar membuka diri untuk perdagangan. "Awalnya itu karena ada utusan Portugis yang datang. Dari hasil diskusi, akhirnya setuju untuk berdagang," tutur Reno.
Kedatangan orang asing itu, lantaran pihak Belanda meminta tolong pada Portugis untuk mencari tahu wilayah penghasil lada. Pasal, selama ini, mereka hanya membeli dari orang Aceh yang ternyata telah sudah sebegitu lama membeli dari pedagang asal Sumatera Barat.
"Membuka diri dengan perdagangan ini membuat banyak akulturasi terjadi. Dari situlah banyak pedagang dari wilayah lain seperti Padang dan pesisir lain yang membawa macam-macam rempah. Akhirnya, orang mulai coba-coba memasukkannya ke masakan, termasuk rendang," papar Reno.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Rendang Nyatanya Tak Melulu Daging
Reno menegaskan, rendang sebenarnya bukan sajian, melainkan cara memasak, di mana artinya menihilkan air. "Jadi, rendang itu jangan berhenti di daging sapi saja. Semua bisa direndang asal melalui proses meniriskan air," tuturnya pada Liputan6.com usai memberi materi di International Forum on Spice Route (IFSR) 2019 di Museum Nasional, Jakarta, Sabtu, 23 Maret 2019.
Tanah Datar sendiri, kata Reno, dikenal lewat sajian rendang belut. Sekarang, rendang disajikan dalam banyak versi. Namun, menurut Reno, setidaknya terdapat 20 jenis rendang dengan proses pembuatan orisinal di Sumatera Barat.
"Yang paling unik yang pernah saya temui itu 100 daun direndang sama rendang gulai. Daun-daun itu didapat di sekitar kampung, di bukit. Mereka tahu mana yang bisa dimakan," katanya.
Rendang yang kini telah mendunia, lantaran sempat jadi makanan terenak di dunia versi CNN tahun 2014 dan 2017, disambut baik oleh Reno. Ia menilai, dengan begitu, rendang sudah punya lokomotif untuk lebih dikenal.
Tinggal bagaimana menambahkan narasi, cerita, dan sejarah di baliknya. Supaya semua orang tahu dan menghargai nilai kuliner Sumatera Barat tersebut. Reno mengaku tak takut orisinalitas rendang tergerus karena jadi makanan 'mainstream'.
"Kalau nantinya orang-orang di luar sana mau membuat rendang rusa atau pakai bahan lain. Silakan saja. Kembali lagi, rendang itu kan proses memasak. Menurut saya, Sumatera Barat akan selalu jadi rumah pertama buat rendang," paparnya.
"Istilahnya, carilah pizza di negara asalnya, begitu juga dengan rendang. Buat orang yang mau tahu bagaimana sebenarnya rasa rendang di tanah aslinya, bisa datang ke Indonesia, coba rendang di Sumatera Barat," sambungnya.
Ia menambahkan, rendang adalah harga diri bagi masyarakat Sumatera Barat, lantaran selalu ada di upacara-ucacara penting. Merendang itu, menurut Reno, selalu tentang ketekunan, cinta, dan kesabaran.
Dalam pembuatannya, ada beberapa kebiasaan yang dilakukan. Sambil mengaduk, biasanya akan bertukar pantun, tentunya bercanda, dan berbicara tentang kutipan-kutipan leluhur.
"Rendang itu ditinggikan derajatnya dari lauk lain. Bahkan, kalau lagi makan besar bersama, ada 1 kilogram (kg) daging rendang nggak dipotong. Cuma ditaruh di ujung meja. Tidak untuk dimakan, hanya untuk dipajang," ujarnya.
Advertisement