Sukses

Kisah Kaum Muslim Pertama di Amerika Serikat yang Tak Dianggap Warga AS

Kaum muslim pertama didatangkan ke Amerika Serikat pada abad 19, sebelum perang saudara di Selatan terjadi. Mereka datang dengan paksaan.

Liputan6.com, Jakarta - Masih ada yang menganggap Islam datang ke Amerika Serikat baru-baru ini? Sebuah studi mengungkapkan bahwa kaum Muslim pertama ternyata datang ke negeri Paman Sam itu sejak abad 19. Status budak yang disandang membuat negara tak mengakui mereka sebagai warga Amerika Serikat.

Dalam jurnal berjudul Antebellum Islam yang dipublikasikan di Howard Law Journal, seorang asisten profesor hukum Universitas Detroit Mercy, Khaled Beydon, menuliskan sebagian budak dari Afrika Barat itu sebenarnya berstatus terpandang di tanah kelahirannya. Ada yang berperan sebagai imam, cendekiawan, penjelajah dunia, sejarawan hingga hafiz.

Salah satu individu yang menonjol bernama Omar bin Said, seorang ilmuwan kaya yang berasal dari Futa Tooro, Afrika Barat. Tempat itu dikenal sebagai Senegal saat ini.

Omar masih berusia 37 tahun saat ditangkap dan diangkut ke Amerika Serikat untuk dijual sebagai budak. Selama tinggal di Fayetteville, Carolina Utara, ia tetap menjalankan kewajiban sebagai Muslim, yakni salat lima kali sehari.

Kisah hidup dan pemikirannya itu dituangkan dalam catatan tulisan tangan berbahasa Arab sebanyak 15 halaman. Autobiografinya kemudian dituangkan dalam buku berjudul The Life of Omar Ibn Said dan diakuisisi oleh Perpustakaan Kongres AS.

Selain Omar, ada pula sosok Yarrow Mamout (Muhammad Yaro). Ia terbebas dari perbudakan setelah 44 tahun mengabdi. Ia bahkan berhasil menjadi wirausahawan dan pemilik rumah sambil terus menjalankan ibadah sebagai Muslim di Amerika Serikat.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Penghapusan Kemanusiaan

Peneliti sosial menyebut, jumlah Muslim yang dijadikan budak di Amerika Serikat sebelum perang saudara terjadi diperkirakan antara 600 ribu hingga 1,2 juta orang. Sebanyak 40 persen dari mereka diculik dari barat Afrika.

Meski sama-sama dari Afrika, Khaled menyebut latar belakang mereka beragam. Namun, agama Islam yang meyakini semua manusia sama derajatnya kecuali orang yang bertakwa bisa menyatukan perbedaan itu.

Hal itulah yang berusaha dihilangkan para penguasa dulu dengan tak mengakui identitas keislaman mereka. Pasalnya, bila sampai diakui, berarti mereka harus mengakui pula orang-orang Afrika tersebut sebagai manusia bebas.

Dilansir dari laman voaindonesia.com, Khaled menyatakan gambaran orang Amerika saat itu tentang muslim adalah bangsa Arab atau Moor atau mereka yang berasal dari Timur Tengah. Sementara, orang-orang Afrika yang dijadikan budak tersebut tidak cocok dengan gambaran tersebut.

"Pemahaman yang sempit antara Muslim dan Afrika ini menyebabkan keyakinan luas bahwa kedua identitas tidak bisa tumpang tindih dan membantu mempercepat penghapusan budak Muslim Afrika dari catatan sejarah," ujarnya.