Sukses

Cerita Akhir Pekan: Waspada Lapar Mata, Berakibat Makanan Terbuang Percuma

Tanpa disadari, kebiasaan lapar mata dapat berujung pada petaka, dan yang paling terasa adalah makanan yang terbuang begitu saja.

Liputan6.com, Jakarta - Pernah terjebak dalam kondisi bingung menentukan makanan mana yang akan disantap? Lalu, berujung pada lapar mata dan membeli ragam sajian? Hati-hati, tindakan tersebut berpotensi besar makanan terbuang percuma.

Tanpa disadari, kebiasaan buruk itu dapat menimbulkan masalah serius dan menyumbangkan sampah makanan. Indonesia khususnya, jadi sorotan dunia akibat pembuangan makanan yang kian tak terkendali.

Melansir laman resmi foodsustainability.eiu.com, Jumat, 17 Mei 2019 dan merujuk pada data yang dipaparkan Food Sustainability Index, pada sektor food loss and waste, skor Indonesia berada di angka 61,4.

Data ini menampilkan semakin tinggi angka yang didapat, kian baik pula langkah yang diambil dalam mengatasi pemborosan makanan. Sedangkan, Prancis berada di posisi teratas dengan angka 85,80 dan Arab di posisi terbawah dengan skor 34,60.

Di sisi lain, lapar mata dapat menjadi salah satu faktor pendorong adanya pemborosan makanan. Lantas, apa yang menyebabkan orang tergoda hingga lapar mata?

"Dalam ilmu psikologi, lambung kerap dianggap 'otak' kedua, karena memiliki ciri khas yang serupa yakni dalam hal perubahan cairan, dalam bentuk enzim dan neurotransmitter yang mempengaruhi perilaku," jelas Kasandra Putranto, psikolog klinis kepada Liputan6.com melalui pesan singkat, Kamis, 16 Mei 2019.

Lapar mata memiliki kecenderungan seseorang tidak menghabiskan makanan hingga berujung pada makanan yang terbuang percuma.

"Ketika seseorang mengalami lambung kosong atau lapar, perasaan lapar ini ikut mempengaruhi kinerja otak. Tidak hanya lapar mata terhadap makanan, penelitian membuktikan kondisi lambung yang kosong mempengaruhi perilaku berbelanja dan keputusan membeli," tambahnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Kecenderungan Lapar Mata

Adanya keputusan 'menggila' karena lapar mata pada makanan, ternyata berawal dari proses yan diatur oleh bagian depan otak. Setelah itu, baru timbul hasrat untuk membeli sajian yang menarik perhatian.

"Keputusan membeli yang diatur oleh bagian depan otak yaitu prefrontal cortex menjadi lebih lemah dibandingkan dorongan membeli yang diatur oleh bagian amygdala di bagian tengah otak," jelas Kasandra Putranto.

Tiada kata lain untuk menekan kondisi lapar mata dengan trik jitu yang diungkapkan sang psikolog. "Caranya adalah menyusun sesuai kebutuhan dan kemampuan makan," lanjutnya.

Selain daya beli makanan yang cukup tinggi oleh orang dewasa, lapar mata juga dapat menimpa anak-anak ketika menginginkan satu makanan.

"Apalagi pada anak-anak yang jelas kemampuan pengambilan keputusannya masih terbatas. Maka, baiknya orangtua yang mengambil keputusan," ungkap Kasandra.

Tak dapat dipungkiri, peran orangtua sangat besar dalam ragam perilaku anak, salah satunya soal makanan. "Justru menjadi kesempatan bagi orangtua untuk mengajarkan kebiasaan (tidak membuang-buang makanan)," tutupnya.