Sukses

Kisah Satai Maranggi, dari China hingga Purwakarta

Terkenal di Indonesia, khususnya di Purwakarta, satai Maranggi merupakan asimilasi dari budaya China.

Liputan6.com, Jakarta - Satai jadi salah satu menu favorit yang disajikan saat berbuka puasa. Satai memang termasuk makanan yang cukup menggugah selera, termasuk satai Maranggi.

Nama satai Maranggi sangat populer di Indonesia, terlebih mereka yang tinggal di Jawa Barat, khususnya Purwakarta. Mereka tentu sangat mengenal dengan nama satai tersebut.

Budayawan Sunda, Dedi Mulyadi sempat mengungkapkan awal mula nama satai Maranggi berasal dari nama sang penjual, yaitu Mak Ranggi.

"Pada ratusan tahun lalu, Mak Ranggi sangat dikenal akan kelezatan satainya hingga menjadi buah bibir. Secara tak sengaja, ketika menyebutkan satai pasti diakhiri dengan sebutan Maranggi," kata Dedi kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Berbeda dengan yang lain, satai Maranggi tak langsung dibakar setelah daging ditusuk, tapi direndam lebih dulu dengan menggunakan aneka rempah. Saat akan dibakar, satai Maranggi pun kembali diberi bumbu.

Saksikan video pilihan di bawah ini :

2 dari 2 halaman

Asimilasi Budaya China

Dirangkum dari berbagai sumber, selama ini tak banyak yang tahu bahwa Satai Maranggi sebenarnya hasil dari asimilasi dengan budaya China. Mereka adalah para pendatang dari dataran China yang menetap di Indonesia, khususnya Jawa Barat.

Awalnya, satai Maranggi bukan terbuat dari daging sapi atau kambing seperti saat ini, melainkan dari daging babi. Bumbu rempah yang digunakan, sama persis dengan dendeng babi dan dendeng ayam yang dijual di Hong Kong, China, dan Taiwan.

Masyarakat Indonesia, khususnya dua wilayah di Kabupaten Purwakarta, yaitu Wanayasa dan Plered, yang memiliki kultur Islam kemudian mengganti jenis daging tersebut dengan daging domba, sapi, dan kerbau untuk dipadukan dengan bumbu.