Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa hari lagi kita akan merayakan Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Ini merupakan momen untuk saling memaafkan, bersilaturrahim dengan sanak famili, handai taulan, rekan-rekan dan segenap orang yang kita kenal.
Salah satu tradisi yang tidak bisa dilepaskan saat mengisi hari-hari lebaran adalah sungkem. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh anak ke hadapan orang tua atau keluarga yang lebih tua, untuk menunjukkan tanda bakti dan rasa terima kasih atas bimbingan dari lahir sampai dewasa.
Advertisement
Baca Juga
Sungkem biasanya dilakukan dengan jongkok sambil cium tangan. Dalam konteks Idul Fitri, tradisi dilakukan saat prosesi saling memaafkan. Dilansir dari beragam sumber, sungkem secara teknis dilakukan dengan bersimpuhnya anak yang lebih muda, lalu mencium tangan orang yang lebih tua.
Selain pada momen Lebaran, prosesi ini kerap dilakukan kedua pengantin saat memohon doa restu pada upacara pernikahan. Budaya sungkeman setidaknya memiliki sederet makna yang berkonotasi baik.
Antara lain sebagai sarana melatih kerendahan hati, karena membawa seseorang untuk menghilangkan sikap egoisme, melalui gestur merendah dan menyembah kepada orang yang lebih tua.
Makna kedua adalah wujud terima kasih seorang calon pengantin, kepada orang tua dan para pini sepuh, atas perlindungan, pengayoman serta bimbingan dan nasihat yang diberikan, sedari mula lahir hingga jelang pernikahan.
Ketiga, sungkeman dilakukan sebagai wujud rasa sesal dan permintaan maaf atas segala dosa yang pernah dilakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Sebuah jalinan yang telah rusak lantaran sakit hati, diharapkan bisa pulih kembali lewat ritual sungkeman.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Budaya Jawa-Islam
Makna keempat dari sungkeman adalah sebagai ritual penyadaran diri. Anak-anak muda diajak dan diingatkan kembali tentang bagaimana seharusnya memperlakukan orang tua, terutama kepada ayah dan ibunda.
Menilik sejarah, tidak diketahui pasti kapan dan di mana tradisi sungkeman lebaran bermula. Namun, seorang budayawan senior dari Universitas Gadjah Mada Dr. Umar Khayam (alm) pernah berteori perihal awal mula prosesi yang lekat di masyarakat Jawa ini.
Ia menyebutkan bahwa tradisi Lebaran merupakan langkah kuda akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa mudik (kembali ke udik/kembali ke kampung halaman) juga merupakan etalase kecerdasan budaya Indonesia. Umar Khayam menyebutkan bahwa istilah Lebaran tak bisa lepas dari peran para priyayi yang sangat gemar bermain simbol.
Biasanya sungkem dilakukan selepas salat Id. Selain itu juga dilakukan ketika seseorang meminta restu kepada orang yang lebih tua dan dihormati. Dalam ajaran Islam, sesungguhnya saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya. Minta maaf harus segera dilakukan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain.
Advertisement
Menghormati dan Memaafkan
Sedari awal sungkem telah dilakukan anak-anak Jawa kepada orang yang lebih tua, sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua atau dituakan.
Sementara para ulama yang ingin agar tujuan puasa Ramadan tercapai, memantik budaya saling memaafkan secara massal, dengan harapan dosa-dosa dan kesalahan yang mungkin dilakukan antar manusia, dapat terhapus dan berguguran.
Ide tersebut kemudian dijalankan secara kolektif, hingga menjadi sebuah kebudayaan di masyarakat Nusantara, seiring berkembangnya Islam ke segala penjuru waktu itu.
Sungkem bukan menunjukkan rendahnya derajat dan martabat seseorang. Namun, justru menunjukkan perilaku mulia. Tujuan sungkem saat Idul Fitri selain untuk menghormati, juga sebagai permohonan maaf.
Saat ini budaya sungkeman semakin jarang kita temukan terutama di kota-kota besar. Padahal tradisi sungkeman saat lebaran memiliki nilai-nilai dan manfaat yang sangat baik untuk ditanamkan kepada generasi muda Indonesia.