Sukses

Kisah Pulau Terpencil yang Dihuni Puluhan Saudara dari Satu Bapak

Semua penghuni pulau ini berasal dari satu lelaki beristri tiga dan bisa dicapai dengan perjalanan sembilan hari naik perahu.

Liputan6.com, Jakarta - Sepoi angin pesisir yang perlahan membelai, biru gradasi laut berbaring hingga batas cakrawala, serta lembut nan hangat hamparan pasir putih adalah deskripsi singkat perjalanan 'melarikan diri' ke pulau tropis impian.

Palmerston Island di bagian selatan Samudera Pasifik bisa jadi salah satu opsi untuk pergi merasakan dinamika hidup santai di pulau. Pastikan diri Anda siap, lantaran pulau ini hanya bisa ditempuh lewat perjalanan laut selama sembilan hari dari dermaga terdekat.

Kondisi sekitar pulau membuat Palmerston tak bisa diakes dari udara. Tak ada pesawat, termasuk helikopter, yang bisa mendarat di sini. Terpencil dan hampir dilupakan dunia, melansir dari Bored Panda, Jumat (14/6/2019), pulau ini merupakan rumah dari 62 orang keturunan satu lelaki.

Palmerston adalah satu dari gugusan Kepulauan Cook, dinamai dari penemunya di zaman modern, James Cook. Setelah ditemui keberadaannya, tak ada orang yang hidup di kepulauan ini selama lebih dari delapan dekade.

Sampai lelaki asal Inggris bernama William Marsters pada pertengahan abad ke-19 datang dan langsung jatuh hati pada tempat ini. Saat itu, Palmerston dimiliki seorang pedagang Inggris, John Brander, yang bertemu William di Tahiti.

Tak lama dari pertemuan itu, John menunjuk William sebagai penjaga Palmerston dan membiarkannya menumbuhkan pohon kelapa di sana. William pun pindah bersama sang istri dan dua sepupu yang kemudian ia nikahi juga.

Dua kali dalam setahun, sebuah kapal akan datang ke pulau membawa makanan dan persediaan penting yang bakal ditukar dengan minyak kelapa oleh William. Kunjungan itu jadi makin jarang dan berhenti sama sekali. William putar otak untuk bertahan hidup di pulau dan nyatanya berhasil. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Wajah Palmerston Kini

Sampai sekarang, kehidupan tak banyak berubah di Palmerston. Nelayan masih jadi profesi dominan, di samping berkebun. Kendati tak ada toko, pulau ini punya sebuah sekolah, gereja, dan bar. Uang hanya dipakai untuk membeli barang kebutuhan dari luar pulau.

Tetap ada listrik dan internet hanya untuk beberapa jam dalam satu hari, selebihnya kehidupan dengan alur super santai mengambil alih. Bermain voli, berenang, atau sekadar leyeh-leyeh di tepi pantai jadi aktivitas yang bisa dilakukan.

Seiring waktu, walau sulit dijamah, surga tersembunyi ini menggelitik pelancong untuk datang. Penduduk pulau akan melakukan semacam sambutan berupa tari-tarian setiap kali ada orang luar datang.

Karena penduduk pulau semuanya notabene bersaudara dan kebanyakan menikah di antara mereka, hangat suasana akan sangat terasa. Tapi, seiring tahun, populasi Palmesrton terus berkurang, lantaran anak muda bersikeras untuk pergi dari pulau mencicipi dunia luar.

Â