Sukses

Terbius Magis I La Galigo, Cerita Rakyat Bugis yang Lebih Panjang dari Mahabarata

I La Galigo terakhir kali dipentaskan pada Oktober 2018 lalu di pertemuan IMF dan Bank Dunia di Bali. Kisahnya merujuk pada naskah kuno milik masyarakat Bugis.

Liputan6.com, Jakarta - I La Galigo kembali dipentaskan di Jakarta setelah 18 tahun melanglang buana. Bahkan, pementasan perdana kisah petualangan, peperangan, percintaan terlarang, pernikahan, hingga pengkhianatan itu bukanlah terjadi di Indonesia, melainkan Singapura, pada 2004 lalu.

Legenda rakyat Bugis itu merujuk pada kitab Sureq Galigo yang aslinya terdiri dari 300 ribu halaman dalam aksara dan bahasa Bugis kuno. Namun, pementasan teater musikal yang disutradarai oleh Robert Wilson dan penata musik Rahayu Supanggah tersebut, dipadatkan menjadi dua jam pertunjukan.

Liputan6.com berkesempatan menyaksikan gladi resik jelang malam pertama pementasan, Rabu, 3 Juli 2019, di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta. Meski terhitung sebagai latihan, penampilan para seniman yang terlibat tak ubahnya pementasan sebenarnya.

Adegan dimulai dengan permainan cahaya. Tata lampu sangat vital dalam pertunjukan I La Galigo untuk membangun suasana dengan dukungan sejumlah properti sederhana.

Lampu sorot akhirnya berhenti pada satu titik di tepi panggung sebelah kanan. Terdapat bantal dan meja pendek dengan buku tebal terbuka di atasnya.

Masuklah bissu, lelaki yang berperan sebagai narator dalam kisah I La Galigo dari sudut kanan panggung. Belasan musikus kemudian mengikutinya dari sudut seberang. Mereka kemudian saling menunduk memberi hormat satu sama lain.

Bissu pun duduk, mulutnya mulai komat-kamit mengucap dalam bahasa yang sama sekali awam buat masyarakat kebanyakan. Namun tak perlu khawatir, dua layar LED besar di kiri kanan pangung, menampilkan maksud omongan sang bissu yang ternyata berdoa agar pertunjukan berjalan lancar.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Kisah Penciptaan Manusia

Suara melengking dari alat musik petik memecah keheningan. Disambut dengan suara instrumen lainnya, satu per satu pemain tampil di panggung dan berjalan ke sudut seberangnya. Tempo dijaga lambat demi mengundang penonton larut dalam suasana.

Ada yang berjalan selayaknya manusia berjalan setiap hari sambil membawa perabotan. Ada pula yang bergerak mirip ular yang merambat di lantai. Lainnya, ada yang meliuk-liukkan tubuh hingga mengingatkan pada sosok ikan.

Adegan yang mengingatkan pada gambar berjalan itu berlangsung sekitar 10 menit. Bissu kembali bersuara, menerangkan awal mula cerita bergulir, yakni tentang Patagoge yang marah karena Dunia Tengah kosong melompong.

Patagoge yang merupakan penguasa Dunia Atas lalu menurunkan putranya, Batara Guru, ke Dunia Tengah. Sementara, dari dasar samudra, muncullah Wé Nyiliq Timoq. Mereka dinikahkan dalam pesta yang meriah.

Pernikahan itu menghasilkan kehamilan. Sang bissu mengabarkan pasangan tersebut memiliki kembar emas, seorang lelaki tampan dan perkasa penguasa bumi bernama Saweri Gading, dan seorang perempuan cantik jelita yang ditakdirkan menjadi pendeta di langit, We Tenriabeng.

Namun, kedua saudara sedarah itu ternyata saling mencintai sejak dalam kandungan. Mereka menolak dilahirkan bila tanpa ada pertumpahan darah. Adegan pertempuran itu digambarkan lewat koreografi apik dan musik ritmis yang saling mengisi, selama beberapa menit, hingga kain selubung transparan terbuka dan menjelma menjadi dua anak manusia.

3 dari 3 halaman

Berkelas Dunia

Kisah itu masih secuplik cerita I La Galigo yang sebenarnya mengisahkan enam generasi, ratusan petualangan, peperangan, ritual, kisah cinta dan pernikahan, yang berakhir dengan pengumpulan manusia di Luwuk. Meski dibuat sekitar abad ke-14 lalu, kisah yang dituturkan dalam epik tersebut dinilai masih relevan dengan zaman sekarang.

Saking panjang dan rumitnya Sureq Galigo, kisah itu diyakini sebagai naskah terpanjang di dunia, melebihi kisah Mahabarata. Pada 2011, UNESCO bahkan menyatakan naskah kuno tersebut sebagai UNESCO's Memory of the World. Kisah I La Galigo bahkan sudah mampir di berbagai teater dunia, seperti Lincoln Center Festival di New York dan Les Nuits de Fourviere di Prancis.

Sayang, kini hanya sedikit sekali yang bisa membaca dan memahami cerita yang disampaikan lewat tradisi lisan dari leluhur itu. Co-Produser dan Direktur Artistik I La Galigo, Restu Imansari Kusumaningrum menyebut, pementasan tersebut terakhir kali terjadi pada Oktober 2018 saat pertemuan IMF dan Bank Dunia digelar di Bali.

Sejak itu, semangat untuk kembali mementaskan cerita rakyat itu semakin besar hingga terwujud di Jakarta. "Kami berharap pertunjukan yang telah kami rangkai secara modern ini dapat memperkenalkan naskah kuno asli Indonesia kepada generasi muda, sekaligus mengusik keingintahuan masyarakat untuk lebih mendalami seni budaya Indonesia agar tidak punah," ujarnya.

Jadwal pementasan masih berlangsung hingga 7 Juli 2019 mendatang. Tiket pertunjukan dapat dibeli dengan harga mulai dari Rp475 ribu hingga Rp1,850 ribu secara online maupun offline.