Liputan6.com, Jakarta - Usai sudah I La Galigo, pertunjukan teater musikal berkelas dunia yang terinpirasi dari karya sastra klasik Sulawesi Selatan, dipentaskan di Jakarta. Bernilai sangat tinggi, belum banyak orang Indonesia yang menyadari keistimewaan cerita rakyat yang dibukukan dalam Sureq La Galigo.
Cerita I La Galigo sudah dipentaskan di beberapa panggung dunia, seperti Singapura, New York, Amsterdam, Barcelona, Paris, hingga Milan. Hal itu menandakan bahwa karya budaya Nusantara layak bersaing di kancah internasional.Â
Meski dibuat sekitar abad 13-14, kisah yang dituturkan dalam ratusan ribu lembar naskah berbahasa Bugis kuno itu masih relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Hal itu menjadi bukti kekuatan naskah yang dinobatkan UNESCO sebagai memory of the world.
Advertisement
Baca Juga
Naskah I La Galigo sebenarnya sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, tetapi jumlahnya masih sedikit dan belum semuanya.
"Naskahnya sudah ada cuma masih dalam aksara Bugis dan bahasa Bugis. Jadi, yang baru ditransliterasi dan diterbitkan dari 12 jilid, baru dua saja dan 10 jilid lagi yang saat ini masih dalam proses pengerjaan," kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu, 7 Juli 2019.
Proses pengerjaan transliterasi ini tak mudah. Hilmar menyatakan dibutuhkan waktu yang panjang, padahal tenaga yang bisa membaca tulisan tersebut sudah tidak banyak. Namun, proses pelestarian karya tak boleh berhenti.
"Naskah ini adalah warisan budaya yang akan menjadi bukti untuk generasi mendatang bahwa kebudayaan Nusantara sangat beragam dan menarik untuk dipelajari lebih dalam," ujarnya.
Hilmar menegaskan masyarakat luas perlu mengetahuinya Sureq La Galigo. Wujud pengenalannya tentu tak hanya dalam bentuk teks yang bisa dibaca, tetapi juga dapat berbentuk tarian dan nyanyian.
"Naskah ini akan dibukukan kemudian dijual agar masyarakat dapat membacanya," ujar Hilmar.
Â
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sihir 20 Detik
Secuplik kisah I La Galigo yang memuat cerita enam generasi itu baru-baru ini dipentaskan di Ciputra Arpreneur Theater pada 3, 5, 6, dan 7 Juli 2019. Pementasan tersebut diharapkan membuat anak muda mengerti dan paham akan salah satu warisan budaya Indonesia yang mendunia.
"I La Galigo merupakan sebuah cerita yang luar biasa. Kita semua akhirnya sadar bahwa I La Galigo adalah sebuah sastra hasil karya anak bangsa yang mendunia lewat pementasan hari ini," ujar Kepala Kantor Staf Kepresidenan RI, Moeldoko.
Pementasan yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu mengisahkan cerita tentang awal penciptaan manusia. I La Galigo ini diceritakan melalui tarian, gerak tubuh, serta penataan musik yang epik berpadu dengan tata cahaya lampu dan tata panggung yang spektakuler membuat para penonton terpukau dan takjub.
Ada lagi poin yang tak kalah penting dalam elemen pertunjukan itu, yakni makeup para pemain I La Galigo. Brand kosmetik PAC yang digandeng sejak 15 tahun lalu berhasil memulas wajah pemain seperti karakter yang hendak ditampilkan.Â
Dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, konsep dasar dari makeup pementasan I La Galigo adalah makeup natural dengan sentuhan warna yang kuat. Untuk membentuk setiap karakter, MUA menggunakan teknik shading dan kombinasi antara warna gelap dan terang. Untuk karakter imajinatif (seperti Kucing Mico-mico) konsepnya lebih ke arah menggunakan lukisan wajah (face painting).
Para makeup artist dengan sabar dan telaten berusaha menciptakan dan mengerjakan makeup & hairdo untuk mendapatkan perwatakan, sapuan warna, dan bentuk yang sempurna. Bagian yang paling menantang adalah mengubah riasan dalam waktu singkat.
Satu pemain dapat memainkan beberapa karakter sekaligus. Bahkan, untuk satu sekuens, tim MUA harus mampu bekerja kurang dari 20 detik untuk mengubah riasan dan kostum pemain. Tantangan dan situasi tersebut mampu ditangani oleh tim MUA PAC.
Berkat kerja sama yang solid dan operasional di belakang panggung, mereka mampu menciptakan "sihir dua puluh detik", yaitu, pemain dapat tampil kembali sebagai pemain lain di panggung dengan tata rias yang berbeda dari sebelumnya. (Devita Nur Azizah)
Advertisement