Sukses

Tenun Ikat Sarat Makna Bantu Selamatkan Para Perempuan NTT

Hubungan antara tenun ikat dan para perempuan NTT bak simbiosis mutualisme. Keduanya saling menjaga kehidupan satu sama lain.

Liputan6.com, Jakarta - Bukan rahasia lagi tenun ikat menyimpan keindahan tiada duanya. Salah satu wastra Nusantara ini tak hanya dibuat dari rangkaian benang, tetapi juga ada curahan rasa serta makna mendalam di setiap proses penciptaannya.

Sebagai warisan leluhur, sudah selayaknya tenun ikat dilestarikan. Upaya ini pula yang dilakukan oleh Maria Gabriella Isabella, founder Copa de Flores, sebuah brand fesyen lokal.

Bella, begitu ia akrab disapa, tidak sendiri membangun Copa de Flores. Ia bersama tujuh teman perempuannya yakni Dyandra, Nindia, Vanesa, Gregoria, Clara, Shasa, dan Gabyta mendirikan brand tersebut pada 2015 lalu saat kuliah semester 4.

"Awalnya dibentuk bertujuan menghadirkan baju-baju tradisional. Pemberdayaan dimulai dari kerja sama dengan LSM unit perempuan yang bilang kita bisa membantu orang banyak seperti korban human trafficking," jelas Bella saat ditemui di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat, 12 Juli 2019.

Tenun sendiri didapat dari delapan desa di Kabupaten Sikka dan dua desa di antaranya ada beberapa perempuan yang dahulunya adalah korban pelanggaran berat masa lalu yang dibina lewat tenun.

"Dua desa itu Doka Tana Tawa dan Umauta. Penenunnya berusia 70-80 tahun. Mereka suka konsultasi tren fesyen dan warna ke kita. Kita bagian pemasarannya," lanjutnya.

Instagram dipilih sebagai medium untuk menampilkan tenun, koleksi, hingga mengawaninkan cerita serta visualisasi produk. "Tenun per motif memiliki makna yang berbeda di setiap koleksi, feed, story," kata Dyandra, desainer Copa de Flores.

"Setiap koleksi punya cerita dan tema besar. Pertama mengenalkan tenun ke anak muda yang menceritakan proses kapauta tenun ini bahan utama kapas, cara pembuatan, ada juga koleksi pahlawan perempuan," lanjutnya.

Motif tenun Sikka yang dihadirkan seperti motif mawarani yang merepresentasikan bunga-bunga serta motif patola yaitu alkulturasi motif dari India pattern-nya seperti akar, merepresentasikan pohon kehidupan.

"Di Flores yang boleh menenun hanya perempuan karena itu sudah budaya. Saat sudah haid, mereka belajar tenun. Sekarang banyak yang tidak menenun, cenderung ke luar kota dan sering pake jins, kita sengaja ke sana agar mereka bisa tertarik lagi," ungakp Bella.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Tenun yang Sarat Makna

Copa menginisiasi proses meditasi berbasis visual bagi para perempuan Flores yang menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual, human trafficking, hingga pelanggaran berat masa lalu yang disalurkan lewat kegiatan menenun.

"Tenun membutuhkan pemikiran yang lama, mereka menenun 3-6 bulan. Ada jeda waktu khusyuk sebagai meditasi visual merefleksikan diri seperti kasus mental illness," jelas Bella.

Lamanya menenun menjadi indikator untuk 'menyembuhkan diri'. Ada yang berkebun, ada pula yang menenun. Proses ikat dibuat yang jadi gambaran kehidupan mereka.

"Di Sumba, ada motif "selingkuh" yang dibuat oleh perempuan yg diselingkuhi dan menjadi refleksi batin. Jadi sarana yang kritis juga," lanjutnya.

Ada rangkaian panjang untuk menghasilkan tenun ikat mulai dari menuangkan buah pikiran juga emosi hingga proses ikat yang memakan waktu lama.

3 dari 3 halaman

Produk Copa de Flores

Copa de Flores merilis koleksi setahun dua kali yakni mengikuti season fashion. Market brand ini sendiri mulai dari usia 17--35 tahun, namun tak jarang saat di bazar, para ibu membeli untuk anaknya agar tampil senada.

Untuk baju dijual mulai Rp350 ribu yakni produk kombinasi antara tenun dengan bahan linen, katun, atau wol hingga Rp2,5 juta untuk full tenun.

Zero waste project juga diterapkan brand ini untuk sirkular ekonomi pascaproduksi dengan menghasilkan anting-anting yang dijual seharga Rp100 ribu.

"Untuk perawatan baju, kita menyarankan untuk dry clean. Kalau mau hemat pakai sampo apa saja, dicuci pakai tangan atau pakai sabun batik. Dikeringkan di bawah sinar matahari," jelas Bella.