Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pariwisata kembali mengadakan famtrip media Jerman dilangsungkan 19-23 Juli 2019. Para peserta diajak melihat langsung kekayaan wisata dan sejarah yang dimiliki Jakarta dan Yogyakarta.
Menurut Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran II Kementerian Pariwisata Nia Niscaya, ada alasan mengapa famtrip mengangkat potensi wisata sejarah dan budaya.
“Indonesia tidak bisa dipisahkan dari budaya. Dua hal ini sudah seperti dua sisi mata uang. Sangat susah dipisahkan. Mengapa? Karena Keberagaman budaya menjadi citra kuat Indonesia di mata dunia. Dan kekayaan ini jelas tak lepas dari perkembangan sejarah. Sejarah yang dilalui bangsa Indonesia sejak zaman pra sejarah hingga era modern,” papar Nia, Minggu (28/7).
Advertisement
Ditambahkan Nia, dampak dari sejarah panjang itu membuat Indonesia memiliki banyak peninggalan budaya. Baik tangible maupun intangible.
“Peninggalan ini kemudian kita coba dimanfaatkan. Kita jadikan sebagai daya tarik wisata. Harapannya, mampu mendatangkan wisatawan. Baik wisatawan dalam maupun luar negeri,” sambungnya.
Sementara Asdep Pengembangan Pemasaran II Regional IV Kemenpar Agustini Rahayu, mengatakan famtrip yang digelar ini merupakan strategi untuk mengangkat destinasi Indonesia melalui persepsi media.
“Famtrip ini menjadi strategi kita untuk mempromosikan daya tarik wisata budaya dan sejarah. Sekaligus, sebagai penguatan Branding Wonderful Indonesia di Pasar Jerman,” tuturnya.
Ditambahkannya, famtrip juga diharapkan bisa membantu memenuhi pencapaian target kunjungan wisatawan asal Jerman. Sebesar 320.800 wisman pada tahun 2019. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2018 target kunjungan wisman Jerman sebesar 304.000 orang.
Famtrip bertema Experiencing Cultural Wonders kali ini diikuti 5 pembuat opini. Terdiri dari empat koran harian dan satu majalah fotografi. Kelima media tersebut dipasarkan di area Jerman Selatan. Seperti Munchen, Frankfurt, Stuttgart, Mainz, Ausburg, dan Nuremberg yang notabene kota-kota di Jerman dengan tingkat pengasilan penduduknya yang tinggi. Total sebaran produksi dari kelima media tersebut mencapai 830.000 eksemplar dengan total perkiraan sebaran 2.3 juta pembaca.
“Destinasi pertama yang kami pamerkan adalah Yogyakarta. Para peserta diajak ke Sanggar Seni dan Budaya Sekar Kinanti Sari. Tempat ini menyuguhkan nuansa tradisional Jawa klasik. Tak lupa diajak mencoba makanan khas Jogja, Gudeg, Sayur Lodeh, Telur Bulat, dan Bacem Tahu Tempe untuk melengkapi liputannya untuk khalayak Jerman Selatan, ” terang wanita yang akrab disapa Ayu itu.
Sembari menikmati sajian kuliner tradisional, peserta disuguhi tarian Golek Menak Kenyo Tinembe. Setelah pertunjukan selesai, peserta famtrip diajak untuk kostum tradisional dan kemudian melakukan sesi foto dengan latar belakang rumah tradisional Jawa.
Di hari kedua, peserta famtrip melakukan city tour di situs-situs Mataram Islam. Seperti Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Jeron Benteng, dan Alun-Alun Kidul. Sebagai pusat kebudayaan Yogyakarta, Keraton memiliki unsur wisata budaya dan sejarah yang sangat kental. Mulai dari budaya intangible seperti sejarah kerajaan, proses penurunan kekuasaan, sistem pemerintahan. Maupun kebudayaan tangible; seperti baju adat, hadiah hadiah kerajaan asing, peralataan kerajaan, dan koleksi hewan keratin.
“Sedangkan untuk destinasi wisata Taman Sari, peserta diajak untuk menikmati keindahan arsitektur pemandian para putri Sultan. Cerita tentang pemilihan selir oleh Sultan menjadi point of attraction di destinasi satu ini. Keseluruhan city tour ini dilakukan dengan menggunakan becak,” ujar Agustini Rahayu lagi.
Peserta famtrip juga diajak mengenal kejayaan Indonesia di masa Hindu Buddha. Destinasi yang dipilih adalah Temple Tour. Terdiri dari Candi Prambanan dan Keraton Ratu Boko. Tujuan lain dari destinasi ini adalah memamerkan toleransi bangsa Indonesia.
Destinasi ke empat dalam perjalanan wisata pengenalan ini merupakan kombinasi wisata alam dan sejarah. Peserta diajak untuk menikmati panorama lembah Gunung Merapi menggunakan Jeep. Ditambah beberapa stop point yang menggambarkan efek letusan Gunung Merapi pada tahun 2010. Seperti Museum Sisa Hartaku dan Batu Alien. Destinasi ini juga mengajak peserta famtrip untuk mengenal pola hidup masyarakat lereng Gunung Merapi melalui aktivitas pertambangan pasir dan industri kopi lokal.
Sebagai ultimate destination, peserta diajak ke Candi Borobudur. Candi ini adalah destinasi super prioritas. Selain itu, estetika Candi Borobudur mampu merepresentasikan kejayaan sejarah bangsa Indonesia di era Hindu Buddha. Peserta famtrip diajak untuk menelisik tingkat kecerdasan bangsa Indonesia melalui arsitektur bangunan Candi Borobudur dan semua nilai yang terkandung di dalam setiap pahatan relief.
Dari Yogyakarta, mereka melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Ibukota negara dianggap mampu menjadi representasi sejarah Indonesia pada masa kolonialisme dan awal kemerdekaan.
“Sebagai destinasi wisata pertama di Jakarta, Monumen Nasional dipilih sebagai wajah Ibu Kota. Selain statusnya sebagai landmark Jakarta, Monas dirasa mampu menjadi destinasi yang cocok dengan tema famtrip, wisata budaya dan sejarah. Monumen Nasional memiliki deretan diorama yang menggambarkan perjalanan sejarah Bangsa Indonesia dari masa prasejarah,” ulasnya.
Di destinasi ini, peserta juga diajak untuk melihat panorama kota Jakarta yang menyuguhkan kesan metropolis. Seluruh rangkaian perjalanan wisata pengenalan tersebut ditutup dengan mengunjungi Kawasan Kota Tua Jakarta dan Museum Fatahillah yang sarat dengan wisata sejarah.
Menteri Pariwisata Arief Yahya memberikan acungan jempol terhadap suksesnya pelaksanaan famtrip. Ia berharap kegiatan ini juga berimpact positif terhadap kunjungan wisman asal Jerman.
“Jika selama ini Indonesia dikenal melalui Bali, famtrip kali ini membuat wisatawan mancanegara juga mengetahui jika Indonesia memiliki Yogyakarta dan Jakarta. Kota yang sangat kental dengan sejarah dan budaya. Kita harapkan media yang mengikuti famtrip menyampaikan informasi mengenai kekayaan itu. Dan membuat wisatawan Jerman yang berkunjung ke Indonesia semakin meningkat,” paparnya.