Liputan6.com, Jakarta - "Noken sudah sangat menyatu dengan kehidupan sehari-hari warga Papua. Ibaratnya, orang Jakarta pakai tas, orang Papua pakai noken," kata Direktur Program Eco Nusa Muhammad Farid di acara Mari Cerita (MaCe) Papua: Noken, Rajutan Identitas Masyarakat Papua di bilangan Jakarta Selatan, Rabu, 31 Juli 2019.
Noken merupakan sebutan untuk menyatukan berbagai pemakaian nama atas tas serbaguna tersebut di lebih dari 250 suku di tanah Papua. Penetapannnya menegaskan bahwa sejarah keberadaan tas rajutan telah terbentang begitu panjang.
Salah seorang pengrajin noken, Merry Dogopia, bercerita noken dulunya tak bisa dibawa sembarang orang. Hanya orang ternama, punya kuasa, dan pihak-pihak berada saja yang membawa noken. Seiring waktu, tas ini jadi milik masyarakat lebih luas.
Advertisement
Baca Juga
"Noken juga dibagi-bagi. Ada yang khusus membawa makanan, ada pula yang dimaksudkan untuk membawa barang-barang berharga," sebut perempuan yang dinobatkan sebagai Ketua Asosisasi Noken Papua pada 2016 tersebut.
Soal pola rajutan, Merry menambahkan, setiap suku punya cerita masing-masing di baliknya. Generasi demi generasi berlalu, tak ada perubahan yang dilakukan dalam perajutan pola noken di setiap suku. "Sudah diturunkan (leluhur) seperti itu," ujar Merry.
Perbedaan ini juga mencakup warna dan bahan baku untuk membuat noken yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), 2013 lalu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Panjangnya Proses Pembuatan Noken
Pada sebuah video yang ditayangkan di tengah perbincangan, tampak tahap demi tahap pembuatan noken. Pertama, kulit kayu yang merupakan bahan baku umum noken dikupas lebih dulu. Lalu, dipisahkan antara kulit dengan serat.
Setelah terpisah, serat kayu ditumbuk, kemudian diremas-remas dan dijemur demi mengeluarkan sisa air. Usai kering, serat kayu dibelah jadi bagian-bagian lebih kecil agar mudah dipintal. Terakhir, pemintalan dilakukan secara manual sebelum serat kayu dirajut ke berbagai macam pola noken.
"Sebetulnya pemerintah sudah bantu dengan memberi tiga alat pemintal. Tapi, setelah dicoba, tidak sebagus kalau kita pintal sendiri, pintal manual," ujarnya.
Merry menjelaskan, membuat noken berukuran kecil biasanya membutuhkan waktu satu hingga dua dua hari. "Tapi, ada beberapa noken yang harus melalui proses perendaman serat kayu sampai satu minggu," paparnya.
Di samping serat kayu, noken sekarang juga dibuat dari benang, rumput, bahkan anggrek yang dipetik langsung di hutan. "Yang terbuat dari anggrek itu yang paling susah," ujar Merry.
Sementara noken dari serat kayu berukuran kecil dibanderol sekitar Rp100 ribu, yang berbahan baku anggrek berani dihargai sampai Rp3 juta.
Soal penjualan, Merry bersama sebagian pengrajin di Pusat Kerajinan Honai Kreatif masih memasarkan secara offline di toko-toko di seantero kota Jayapura. "Tapi, ada beberapa teman juga yang sudah mulai berjualan secara online," tuturnya.
Advertisement
Mejeng di London
Noken sebagai identitas masyarakat Papua juga sempat mejeng di runway London Fashion Week 2019. Perancang busana Yurita Puji merupakan sosok di balik eksistensi noken di acara fashion bertaraf internasional tersebut.
Dalam acara MaCe Papua, Yurita bercerita bahwa perkenalannya dengan noken terjadi lima tahun lalu ketika ia meminta dibelikan tas tersebut sebagai oleh-oleh pada seorang teman. "Karena noken itu susah banget carinya," kata Yurita.
Bermodal keberanian, Yurita kemudian membedah lima noken miliknya untuk dikombinasi dengan bahan lain dan disulap jadi busana sedemikian rupa. Sebagai desainer, Yurita mengatakan tak ingin terpaku bahwa noken itu sekadar bahan tas.
"Itu kan berupa rajutan sebetulnya. Jadi, dari sisi fashion, saya nggak mau terpaku bahwa noken itu semata tas. Karena sebetulnya sangat punya daya jual. Apalagi, ada cerita yang bisa dikisahkan di baliknya," ucap desainer yang fokus pada produk warisan budaya tersebut.