Sukses

Pergulatan Seniman Topeng Betawi Mempertahankan Tradisi

Entong Kisam, pimpinan Sanggar Ratnasari, mengatakan apa yang didapatnya dari orang tua terus dipertahankan hingga kini, termasuk meneruskan kesenian topeng.

Liputan6.com, Jakarta Penari topeng wanita masuk ke dalam panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki pada Senin, 5 Agustus 2019 sambil berlenggak-lenggok. Ia menutupi mulutnya dengan kipas yang terbuka lebar. Pemain musik gambang kromong mengiringi setiap gerak sang penari yang luwes. Suara tehyan menyayat melengking dan memilukan hati. Sejenak kemudian, sang penari berhenti di depan sebuah mikrofon. Ia bernyanyi “Aileu” dan kemudian muncullah sang bodoran atau pelawak. Inilah esensi dari tari lipet gandes, suatu tarian yang disertai dengan adegan-adegan yang bersifat hiburan.

Penampilnya, Karlin dan Herry Ujang, berasal dari Sanggar Ratnasari pimpinan Sukirman Kisam. Sanggar yang berlokasi di Ciracas, Jakarta Timur, ini beranggotakan seniman-seniman andal yang tekun dan bersemangat melestarikan kesenian topeng Betawi.

Sukirman Kisam, yang akrab disapa Entong Kisam, menjelaskan bahwa seni topeng Betawi pada mulanya berkembang di sekitar ommelanden Batavia. Ciri khasnya menggunakan topeng—atau bisa disebut kedok. Sanggar Ratnasari yang dipimpinnya diwariskan oleh ayah kandungnya, Bapak Kisam bin Jiun, sekitar tahun 1976.

Theodore Pigeaud, dalam bukunya Javaanse Volksvertoning – Pertunjukan Rakyat Jawa menyebut, jenis pertunjukan keliling ini sebagai permainan topeng kecil (klein maskerspel) dibandingkan dengan yang besar seperti wayang wong yang punya kemampuan melakukan pertunjukan keliling. Topeng kecil ini juga dikenal di Cirebon sebagai topeng Babakan.

Dalam buku Bunga Rampai Kesenian Kebetawian, peneliti tari Julianti Parani menulis pada awalnya jenis pertunjukan topeng ini diduga berkembang dari Jawa Barat dan Cirebon, pada abad 16-18 setelah pudarnya masa Kerajaan Pajajaran. Bentuknya lebih ditekankan pada tariannya yang menggunakan bermacam-macam karakter topeng. Lazimnya lima atau dapat dikurangi menjadi dua, yaitu sebagai yang alus dan yang gagah.

Adapun lawakannya atau bodoran senantiasa muncul sebagai penyegar dan cerita sandiwaranya sebagai pelengkap utama. Salah satunya karena fungsi ritualnya yang masih sangat kental. Namun kemudian, dalam perjalanan keliling, rombongan atau keluarga seniman topeng yang tampil di desa-desa, seperti Cilodong, Karawang, Cibubur, Bekasi, Tambun, Cisalak, Gandaria, Kampung Duku, dan Kampung Jati, akhirnya masuk ke daerah komersial seperti Batavia sebagai migran dan lantas menetap.

Kesenian yang dibawa sebagai pewarisan untuk diamalkan mengalami perubahan sesuai kebutuhan zaman. Bentuk ritualnya mulai memudar. Penggunaan topeng tak lagi dipentingkan dan unsur cerita lebih ditonjolkan.    

 

Saksikan video menarik di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Asal-usul tari topeng

Soal asal-usul kesenian topeng ini pun sempat menjadi bahan penelitian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta pada 1970-an. Entong Kisam mengatakan, “Memang awalnya topeng Betawi ini berkembang di pinggiran dulu, baru masuk ke tengah (Jakarta). Namun, akhirnya ditetapkan bahwa topeng masuk dalam kebudayaan Betawi, karena bahasa yang dipakainya adalah bahasa Betawi.”

Menurut Entong Kisam, ciri khas topeng Betawi adalah adanya tetalu atau tetabuhan gamelan yang mengiringi gerak penari topeng. Postur tubuh sang penari biasanya bertumpu pada gerakan pinggul. Gerak tangan agak natural dan lengan terangkat, sementara gerak kaki mengikuti langkah kembangan sebagaimana pencak silat yang dikenal di Betawi.

“Sebenarnya ada 20 gerak pakem dalam tari topeng, di antaranya slancang, pakblang, rapet nindak, blongter, dan goyang plastik. Ada pula pakem dalam tari topeng klasik, tapi tidak menutup kemungkinan adanya kreasi baru dari 20 pakem itu. Salah satunya adalah tari topeng samba dan tari lenggak-lenggok,” ucap Entong Kisam.

Bersama dua saudaranya yang lain, Atin Kisam dan Kartini Kisam, Entong punya keinginan agar topeng Betawi mendunia, bahkan bisa ikut dalam festival topeng sedunia. Dia berpendapat, tari topeng Betawi punya peluang besar karena keunikan topeng dan keindahan geraknya.

Entong menyebut ada tiga topeng yang dikenal dalam kesenian topeng Betawi, yakni topeng putih bernama panji yang menggambarkan sifat agak halus. Panji adalah simbol kelembutan perempuan. Kedua, topeng merah muda bernama sanggar yang menggambarkan sifat perempuan yang centil, genit, dan ingin selalu diperhatikan. Gerakan tangannya agak atraktif dan agresif dibandingkan panji. Sementara motif topeng terakhir, yakni merah/jingga, yang menggambarkan sifat gagah. Beberapa gerakan pada jenis ketiga ini antara lain mengepalkan tangan dan membuka kaki kuda-kuda, yang menyimbolkan keangkuhan.

Topeng Betawi kini telah menjadi ikon budaya. Maka, pewarisannya dan pengembangannya pun memiliki arti yang sangat penting. Terkait ini, Entong berujar, “Pada prinsipnya, apa yang sudah didapat dari orang tua tetap dipertahankan,” ucap pria yang sudah belajar menari sejak usia 7 tahun ini.

 

 

3 dari 3 halaman

Pentingnya menyiapkan penerus

Hingga saat ini, Sanggar Ratnasari yang dipimpinnya sedang mempersiapkan generasi keempat. “Pertama-tama dari Pak Jiun dan Mak Kinang di Cisalak, lalu Pak Kisam dan Ibu Nasah, kemudian Sukirman Kisam, dan kini Kriss,” ucapnya.

Kriss Kisam, anak keduanya, lulusan seni tari Universitas Negeri Jakarta, baru-baru ini sukses membawa mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia berjaya di pentas tari di Prancis. “Malahan Kriss di sana jadi juara umumnya,” ujar Entong bangga.

Demi menjaga pesan orang tua agar seni topeng tak mati, Entong dan kedua adiknya rajin mengajarkan seni tari ke mana saja. “Yang rutin setiap Rabu dan Sabtu di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah setiap pukul 15.00 sore,” bilangnya.

Malam itu, Entong Kisam bersama Sanggar Ratnasari menutup penampilannya di Teater Kecil dengan Lakon Bapak Jantuk—sebuah pertunjukan seni tari dan teater yang kini hampir punah. Lakon Bapak Jantuk mengisahkan tentang sebuah keluarga yang berantakan gara-gara persoalan sepele. Kartini Kisam tampil sebagai penari, sementara Bang Amung menjadi jantuk.

Syair dan pantun dilantunkan dengan tarikan nada-nada khas lagu gambang. Entong memukul gendang dan para pemain gambang menjadi panjak yang meningkahi celotehan jantuk. Suara tawa terdengar dari para penonton yang terhibur. Malam itu, kesenian topeng menjelma sebagai kesenian rakyat Betawi yang menghibur semua penonton di dalam gedung kesenian bergengsi di tengah Kota Jakarta.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.