Liputan6.com, Jakarta - Galeri Indonesia Kaya (GIK) menggaet Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih untuk melakoni pentas bertajuk "Sumpah Pejuang" pada Sabtu, 17 Agustus 2019. Lakon yang bertema patriotik ini ditujukan untuk merayakan hari kemerdekaan ke-74 Indonesia yang jatuh pada hari yang sama.
Kisah yang diangkat kali ini adalah tentang kehidupan pejuang Indonesia yang ditugaskan untuk pergi ke medan tempur namun dia memiliki kekasih yang sebentar lagi akan dipinangnya. Pejuang tersebut harus memilih antara kekasih yang sangat dicintainya, atau memperjuangkan tanah air.
Advertisement
Baca Juga
Presenter dan aktris Yuki Kato didapuk menjadi pemeran utama wanita dalam pentas yang berlangsung selama 1,5 jam itu. Pertunjukan dimulai dengan dialog antara dua tokoh bernama Bedah dan Oti yang mengeluh akan banyaknya pekerjaan rumah tangga yang harus mereka lakukan.
Tiba- tiba, datang empat pemuda dengan membawa senapan. Keempat pemuda itu ternyata adalah pejuang yang harus berlatih agar bisa melindungi Indonesia.
Tak lama setelah mereka berlatih, muncul komandan perang yang kemudian menugaskan mereka untuk bertempur di medan perang. Mereka ditugaskan untuk meledakkan gudang mesiu milik kolonial Belanda.
Sebelum ditugaskan, keempat pejuang tersebut bersumpah. Mereka menyatakan, "Saya siap berjuang dan rela berkorban untuk tanah air. Siap menjaga segala rahasia apapun demi keamanan."
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Demi Negara, Kekasih Ditinggal
Masalah pun muncul setelah mereka telah bersumpah dan akan pergi ke medan perang. Salah satu tokoh, Aceng memiliki kekasih yang hendak dinikahinya. Tapi, pergi ke medan perang sama saja mempertaruhkan nyawa. Hal ini berarti ia rela jika harus meninggal dan tidak dapat meminang kekasihnya, Euis yang diperankan oleh Yuki Kato.
Sebelum berangkat, Aceng menemui tambatan hatinya tesebut. Pertemuan ini seolah menjadi pertemuan terakhir bagi dua insan ini. Saat Aceng memberi tahu tentang penugasannya, Euis sontak menolak karena takut akan kehilangan orang yang dicintainya.
Ketakutan Euis menjadi kenyataan. Tak berapa lama setelah penugasan, Euis dikabari oleh komandan dan tiga prajurit lainnya bahwa Aceng telah meninggal di medan perang. Aceng merelakan dirinya untuk ikut meledak saat mengebom gudang berisi peluru tersebut.
Awalnya, Euis tak percaya akan apa yang terjadi. Tangisnya semakin pecah saat membaca surat terakhir peninggalan Aceng untuknya.
Meskipun pedih, Euis mencoba sabar dan berbesar hati untuk menerima kejadian ini karena kekasihnya meninggal demi kemerdekaan ibu pertiwi.
Advertisement
Penuh Improvisasi dan Interaksi
Alur cerita lakon ini memang menyedihkan, tetapi pentas berdurasi 1,5 jam ini berhasil menyulut gelak tawa penonton berkat improvisasi pemainnya. Hal ini memang menjadi ciri khas dari kelompok sandiwara yang berdiri sejak 1928.
Interaksi kepada penonton juga menjadi hiburan tambahan dari para pemain. Contohnya saja ketika tokoh Aceng bertanya ke penonton, apakah ada yang ingin memegang tangan Euis.
Tak hanya kepada penonton, para pemain juga kerap berinteraksi dengan pemain musik. Adegan yang natural membuat candaan semakin lucu.
Imas Darsih selaku sutradara dari pentas ini mengatakan bahwa sebenarnya cerita ini hanya cerita biasa, namun yang membuat spesial adalah humor yang terdapat di dalamnya tidak melunturkan esensi cerita.
"Kita kaitkan dengan 17 Agustus ya, jadi kita cari cerita sumpah pejuang sesuai dengan apa yang Galeri Indonesia Kaya minta," tambah Imas lagi.
Pentas Pertama Yuki Kato
Sumpah Pejuang ini merupakan pentas pertama bagi Yuki Kato. Ia tak menampik bahwa masih ada kesulitan saat menjalankan perannya sebagai Euis, terlebih karena lakon ini sepenuhnya mengandalkan improvisasi pemain.
"Sebenernya bikin bingung adalah lupa alurnya. Kayak bentar deh, ‘gue di sini tuh apa yang perlu gue permasalahkan ya?’, sempet ada yang lupa gitu," ujar Yuki saat ditemui selesai pementasan.
Yuki menambahkan bahwa dirinya tidak menutup kemungkinan untuk berlakon di teater lagi, bahkan dia sangat ingin untuk mencoba jenis pementasan yang berbeda dari yang kali ini.
Meskipun diselingi banyak canda tawa, pesan dari pementasan ini masih dapat kita serap. Perjuangan pemuda pada zaman dahulu untuk merebut kedaulatan Indonesia mengorbankan banyak hal. Maka itu, sebagai generasi muda saat ini kita harus lebih menguatkan rasa nasionalis kita. (Novi Thedora)
Advertisement