Liputan6.com, Jakarta - Jakarta merupakan salah satu tempat penting semasa penjajahan Belanda. Terbukti dengan adanya berbagai bangunan yang dulunya sempat dijadikan sebagai pusat pemerintahan VOC. Salah satunya adalah Museum Sejarah Jakarta atau lebih populer dengan Museum Fatahillah.
Museum yang terletak di Jalan Fatahillah No. 1 ini dulunya menjadi balai kota Batavia (nama sebelum Jakarta) yang dibangun pada 1707 oleh perintah Gubernur Jendral Joan van Hoorn. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini diambil alih oleh pemerintah. Pada 30 Maret 1974, Gubernur Jakarta Ali Sadikin meresmikan bangunan ini menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Banyak sejarah yang terkandung dalam tempat ini, mulai dari peninggalan furniturnya, prasasti dan benda bersejarah yang dibawa hingga lukisan yang terpajang di museum dua lantai ini. Salah satu lukisan yang cukup menarik perhatian adalah lukisan di dinding atau mural saat pertama Anda masuk ke tempat ini. Meskipun bukan asli peninggalan Belanda, mural ini juga tak kalah menyimpan banyak cerita dan nilai.
Advertisement
Baca Juga
Lukisan dinding ini dibuat oleh Harijadi yang dimulai sejak 1975 atas permintaan langsung Gubernur Ali Sadikin. Mural tersebut digambar di tiga sisi dinding dan melukiskan berbagai tema yang berbeda. Kini, ruangan itu dinamakan Ruang Mural.
"Semua sesuai permintaan Ali Sadikin dan gambar-gambarnya adalah situasi yang terjadi di Jakarta pada era 1880 hingga 1920an," ungkap Saparta, guide Museum Sejarah Jakarta, kepada Liputan6.com, Selasa, 3 September 2019.
Pada dinding bagian tengah, terdapat lukisan yang menggambarkan adanya perjamuan makan dan dihadiri oleh banyak orang Belanda dan ada juga orang dengan pakaian Jawa. Berbagai hidangan juga terdapat di gambar seperti satai, kari, telur asin, ayam goreng, kerang, dan buah-buahan. Saparta menyatakan bahwa gambar ini menceritakan pesta rakyat. Terlihat pula gambar kerumunan orang pada bagian atas lukisan ini yang belum diwarnai.
Mural lain yang berada di sebelah kiri lukisan pesta rakyat, ada gambar yang menjelaskan pengangkutan barang-barang di Pelabuhan Sunda Kelapa. Gambar ini juga belum dicat, masih berbentuk sketsa saja. Masih di dinding yang sama, terlihat juga gambar sosok pemuda yang sedang asyik memainkan gitar.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sengaja Tidak Diselesaikan
Berpindah ke sisi lainnya, ada lagi gambar serombongan orang sedang berjalan. Orang-orang ini merupakan sosok masyarakat Jakarta pada masa 1900an dan dilambangkan dengan pakaian dan perawakan yang masih tradisional. Sama dengan lukisan perjamuan makan, gambar ini baru dicat setengah dan sisanya masih berbentuk sketsa.
Semua gambar mural yang terdapat di dinding digambar serealis mungkin agar pengunjung dapat semakin terbayang bagaimana kehidupan warga Jakarta saat masih berada pada masa hidup bersama koloni Belanda.
Banyak bagian dari lukisan ini yang tidak dicat hingga selesai. Alasan utamanya adalah karena kendala tembok di ruangan tersebut selalu lembap saat itu sehingga cat tidak bisa menempel dengan sempurna. Hingga sang pelukis meninggal pada 1997, lukisan ini tidak terselesaikan.
"Tidak selesai karena lembap, dulu kan ini dekat Pelabuhan Sunda Kelapa, ya. Jadi, cat itu sukar menempel pada dinding tembok," ungkap Saparta lagi.
Saparta menambahkan bahwa awalnya pihak Balai Konservasi ada niatan untuk menyelesaikan lukisan pelukis kelahiran 25 Juli 1919 ini mengingat kini sudah ada cat atau pewarna yang anti air, sehingga tembok lembap bukan jadi kendala lagi. Tapi, mereka mengurungkan niat dan membiarkan mural tersebut sebagaimana adanya.
"Dengan adanya lukisan yang setengah jadi ini, kok kelihatannya jadi artistik gitu ya. Jadi antik, lalu kita biarkan apa adanya saja," tutur Saparta.
Meskipun tidak diselesaikan, lukisan ini tetap mengandung keistimewaan karena sejarah dan nilai yang ingin dibawakan. Kini, mural setengah jadi ini malah menjadi salah satu spot foto favorit saat berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta. (Novi Thedora)
Advertisement