Liputan6.com, Jakarta - Perjuangan Kerajaan Mataram untuk memperluas kekuasaan harus melewati jalan yang panjang. Bagimana tidak, bukan lawan dari negeri sendiri yang dihadapi, melainkan kolonial Belanda yang sudah menjajah Indonesia sejak 1596. Upaya-upaya tersebut dapat Anda lihat pada lukisan karya S. Sudjojono di Museum Sejarah Jakarta.
Lukisan sebesar 10 x 3 m ini sudah terpasang sejak peresmian museum yang berada di area Kota Tua ini di tahun 1974. Berjudul 'Pertempuran Antara Sultan Agung dan J. P. Coen', lukisan tersebut terdiri dari tiga bagian yang mendeskripsikan proses terjadinya perang tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Bagian kiri lukisan, terlihat ada seorang sosok laki-laki yang sedang duduk tegak dan dikelilingi oleh orang-orang yang sedang menunduk di sekitarnya. Gambar ini ternyata menjelaskan proses raja ketiga Kerajaan Mataram, Sultan Agung Hanyokrokusumo yang sedang memimpin upacara Seban atau pertemuan kerja yang dihadiri oleh anggota keluarga kerajaan dan pejabat pemerintahan untuk mempersiapkan strategi penyerangan.
Sedangkan pada bagian kanan, tergambar sosok dua laki-laki yang dapat diidentifikasi sebagai Bupati Tegal Raden Ronggo dan Gubernur Jenderal Belanda, Jan Pieterszoon Coen yang sedang berbincang di Pelabuhan Sunda Kelapa.
"Jadi, Raden Ronggo ini diutus Sultan Agung sebagai mata-mata atau menyamar. Dia berpura-pura menjadi saudagar rempah-rempah, padahal sebenarnya dia sedang mencari kelemahan Belanda di Batavia dalam rangka penyerangan pasukan Mataram," ungkap Saparta, pemandu wisata di Museum Sejarah Jakarta.
Berpindah ke sisi tengah, bagian ini adalah lukisan yang paling besar di antara dua lukisan lainnya. Gambar ini menceritakan tentang pertempuran yang dilakukan kawanan pasukan Mataram ke Batavia pada 1629. Dalam gambar, terlihat adanya kepulan asap hitam yang menjelaskan bahwa pasukan Sultan Agung berhasil membakar Benteng Batavia. Dikatakan, J. P. Coen meninggal karena serangan tersebut.
Sejarah pertempuran ini ternyata tidak hanya dilakukan sekali. Saparta mengatakan bahwa serangan pertama dilakukan pada 1628, namun saat itu pasukan Mataram kalah karena adanya mata-mata yang menghancurkan logistik sehingga membuat tentara kelaparan. Tak hanya itu, alat perang yang digunakan saat itu juga tidak secanggih milik Belanda.
"Tapi, Sultan Agung tidak putus asa. Kembali lagi di tahun 1629 dan berhasil membakar Benteng Batavia," ujar Saparta pada Selasa, 3 September 2019.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Nilai Persatuan dalam Lukisan Perperangan
Tak hanya nilai perjuangan pasukan Indonesia yang ingin ditunjukkan oleh pelukis kelahiran 1913 ini, tapi ada juga nilai persatuan yang digambarkan secara tersirat. Jika ditelaah lebih dalam, penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Sultan Agung tidak hanya berasal dari Mataram saja.
Kerajaan Mataram saat itu menurunkan pasukan gabungan yang berasal dari Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Hal ini ditujukan untuk menambah personel agar tidak melakukan kesalahan yang sama seperti serangan pertama.
Sudjojono menggambarkan keberagaman tersebut melalui pakaian tradisional yang dikenakan oleh prajurit. "Kalau misalnya kita lihat di sini, dari pakaian tradisional yang dipakai tentara Demak, Mataram dan Cirebon itu berbeda-beda. Ada motif yang kayak dalang, petani. Semua menggambarkan kekhasan daerah masing-masing," tutur Saparta kepada Liputan6.com.
Hal ini menunjukkan bahwa persatuan Indonesia sudah ada sejak dahulu. Saparta menambahkan bahwa melalui lukisan ini, pelukis yang dijuluki Bapak Seni Rupa Modern Indonesia ini ingin menunjukkan bahwa sejak dahulu, pasukan daerah sudah berjuang bersama untuk melawan penjajah di Batavia.
Hal ini ingin diungkapkan Sudjojono sebagai bentuk dari cikal bakal persatuan Indonesia. Meskipun berasal dari tempat dan budaya yang berbeda, masyarakat Indonesia sudah berjuang bersama untuk merebut kemerdekaan.
Advertisement
Riset ke Belanda
Lukisan ini dibuat selama satu tahun, yakni dari 1973 hingga 1974. Selama proses pembuatannya, Sudjojono menggambar sketsa terlebih dahulu mengenai runtutan kejadian yang didapatkan dari hasil riset. Sketsa-sketsa tersebut digambarkan pada kertas putih menggunakan pena hitam.
Pada coretan gambar tersebut, dapat terlihat bahwa pelukis asal Kisaran, Sumatera Utara ini mencoba membuat kerangka mulai dari posisi duduk Sultan Agung Hanyokrokusumo hingga pasukan-pasukan yang bertempur. Meskipun belum berbentuk gambar yang sempurna, makna secara garis besar sudah dapat kita temukan.
Ternyata, dalam proses pengumpulan data tersebut, Sudjojono rela pergi ke Belanda untuk melakukan riset agar bisa mendapatkan data lebih akurat. Hal ini dilakukannya karena lukisan yang ingin dibuat merupakan lukisan yang besar dan mendalam maknanya. Ini diungkapkan oleh Saparta saat ditemui di Museum Sejarah Jakarta.
"Sebelum lukisan jadi, beliau (Sudjojono) membuat sketch-nya terlebih dahulu. Bahkan pada saat itu, beliau sempat membuat studi banding ya, bolak-balik ke Belanda," tutup Saparta.
(Novi Thedora)