Liputan6.com, Jakarta - Saat memasuki Pasar Kue Subuh Melawai, Blok M, Jakarta Selatan, kue-kue dan jajanan pasar adalah pemandangan yang bakal didapati sejauh mata memandang. Tapi, terselip di antaranya ada seorang penjual nasi kuning dan nasi uduk.
Namanya, Suratin atau biasa dipanggil Atin. Ia sudah berjualan di Pasar Kue Subuh Melawai sejak lima tahun lalu. Dulu, Atin adalah seorang pekerja kantoran. Tapi, karena merasa tak puas akan hasil yang didapatkan, ia memutuskan 'banting setir' membuka usaha sendiri.
Advertisement
Baca Juga
Keputusannya keluar kantor dan berjualan nasi di pasar kue berbuah manis. Perekonomian keluarga diakuinya jadi lebih baik. “Sukanya ya jadi banyak uang, bisa membeli apa yang kita suka, membahagiakan anak dan keluarga,” ungkap Atin pada Liputan6.com, Jumat, 13 September 2019.
Awal mula Atin bisa berjualan di Pasar Kue Subuh Melawai ini karena ia dengan bibinya pernah berkunjung untuk berburu kue. Setelah itu, Atin melihat potensi untuk berjualan di teras Blok M Square.
Sayang, Atin tak bisa membuat kue seperti kebanyakan penjual di sana. Tak kehabisan akal, ia menjual makanan berbeda dari yang lain, yakni nasi kuning dan uduk.
Berbekalkan ilmu yang telah dimiliki, Atin mencoba belajar lebih untuk memasak. Nasi kuning dan uduk buatannya disajikan dengan telur balado, bihun, dan tempe orek.
Tak disangka, nasi buatannya laris-manis. Atin menjual makanannya dalam bentuk siap saji. Ia sudah menempatkan nasi kuning dan nasi uduknya dalam wadah, sehingga pembeli tinggal mengambil.
Pasar Kue Subuh Blok M memang lebih dikenal sebagai pasar jajanan grosir. Hal ini juga berdampak pada bisnis Atin. Ia mengaku dagangannya habis karena banyak pembeli grosir.
Pembeli yang bekerja sebagai mahasiswa dan pekerja kantoran juga kerap membeli nasi uduk dan nasi kuning buatannya. Hal ini dikarenakan harga yang dijual masih ramah di kantong, yakni Rp7 ribu rupiah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jatuh Bangun Selama Berdagang
Kendati demikian, perjalanan bisnis Atin juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia harus mencoba beradaptasi lebih keras, mengingat baru lima tahun berjualan dan awalnya bekerja sebagai pekerja kantoran.
“Dulu belum kenal banyak orang. Masih malu juga untuk menawarkan ke pembeli,” tuturnya. Modal yang cukup besar, serta biaya administrasi pasar juga jadi kendala awal yang dialami.
“Pertama beli satu meja ini Rp10 juta ya, satu meter ini, itu untuk selama-lamanya, selama mau jualan di sini. Kalau untuk biaya operasional per hari, untuk listrik dan kebersihan itu Rp40 ribu. Itu masuk, tidak masuk tetap bayar,” ceritanya.
Saat lebaran, Atin yang tidak berjualan selama dua minggu juga tetap membayar biaya operasional tersebut. Menurutnya, hal ini sedikit memberatkan hingga kini.
Dalam lima tahun berjualan, jumlah pembeli menurut Atin meningkat. Hanya saja, satu tahun belakangan. penurunan cukup signifikan terjadinya. “Kebanyakan orang sekarang belanja praktis. Pakai jasa ojek online, jadi nggak perlu ke pasar,” kata Atin.
Advertisement
Beli Mobil dan Umroh
Terlepas dari kendala dan hal penghambat lainnya, Atin mengaku bersyukur karena bisnisnya di sini lancar dan ramai. Jika dulu ia hanya bergantung pada gaji bulanan kantor, kini Atin bisa memegang uang setiap harinya.
Berbagai kebutuhan dan keinginan keluarga juga terpenuhi. Kerja kerasnya setiap hari yang mulai memasak dari jam 21.00, memberi kesempatan untuknya pergi umroh.
“Punya dua mobil baru, bisa pergi umroh. Bisa buat bersedekah juga, dan lain-lain. Pokoknya banyak banget perubahan. Jadi lebih baik dibanding dulu kerja di kantor,” ungkapnya.
Atin berjualan setiap hari di Pasar Kue Subuh Melawai mulai pukul 04.00--08.00. Ia berharap dengan kerja kerasnya, pasar dapat semakin ramai dan dirinya bisa segera menunaikan ibadah haji.
(Novi Thedora)