Sukses

Lahan Sawit Renggut Kebahagiaan Warga Dayak Iban dan Orang Rimba

Lahan kelapa sawit yang dijadikan sumber kekayaan para pengusaha ternyata membuat penduduk asli setempat menderita. Mereka adalah warga Dayak Iban dan Orang Rimba.

Liputan6.com, Jakarta - Isu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan telah menjadi bencana besar bagi penduduk setempat. Kebakaran massal tersebut menyebabkan asap tebal yang berdampak pada kesehatan dan aktivitas masyarakat. Bahkan, masalah ini membuat beberapa balita dan bayi terkesan ISPA.

Tak hanya itu, kehidupan perekeonomian masyarakat yang bergantung pada alam juga menjadi terganggu. Disinyalir, kebakaran ini tidak terjadi akibat faktor alam semata, melainkan ada pihak yang sengaja melakukan pembakaran ini demi kepentingan pribadi atau institusi.

Kejadian kebakaran ini bukan hanya terjadi sekali, tapi sudah menjadi masalah pelik yang tak kunjung usai seperti pada tahun 1997 dan 2015. Setiap tahunnya, Indonesia kehilangan berjuta hektare hutan karena dibakar. Lahan yang sudah terbakar tersebut kebanyakan akan menjadi lahan kelapa sawit oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab.

Berdasarkan rilis yang diterima dari Human Right Watch (HRW), lembaga nirlaba yang bertujuan melakukan penelitian dan pembelaan masalah hak asasi manusia, mereka melaporkan bahwa bencana ini dikarenakan hukum yang lemah, ditambah juga dengan kelalaian pemerintah serta kegagalan perusahaan kelapa sawit untuk memenuhi tanggung jawab mereka sesuai perjanjian.

Setelah mewawancarai 100 penduduk lokal di Bengkayang, Kalimantan Barat dan Sarolangun, Jambi, mereka sangat merasakan dampak buruk dari penanaman kelapa sawit ini. Sumber tempat tinggal, makanan, air dan budaya menjadi korbannya.

Pertumbuhan perusahaan kelapa sawit ini terbilang cukup pesat, tidak hanya dari domestik, tapi perusahaan internasional juga campur tangan. Bagaimana tidak, keluasan hutan di Pulau Kalimantan dan Sumatera menggiurkan mereka untuk mengubahnya menjadi lahan sawit yang nantinya diolah menjadi kebutuhan sehari- hari seperti sabun, lotion, detergen yang dipakai orang seluruh dunia.

"Penduduk asli Indonesia telah menderita karena kehilangan tanah leluhur yang subur dan tergantikan oleh kelapa sawit. Pemerintah Indonesia juga telah membuat sebuah sistem yang memfasilitasi hilangnya hak tanah penduduk asli," ujar Juliana Nnoko-Mewanu, peneliti wanita dan tanah di Human Right Watch.

Terlepas dari segala regulasi yang ada, pemerintah juga seolah tutup mata pada penggundulan hutan massal ini. Mereka justru dianggap memfasilitasi pertumbuhan lahan sawit ini. Pada rentang 2001 hingga 2017, Indonesia telah kehilangan 24 juta hektare hutan. Seluas 14 juta hektare lahan kini tertanam kelapa sawit.

Hilangnya jumlah hutan secara masif ini tidak hanya mengancam keragaman makhluk hidup dan budaya penduduk asli, tapi berpengaruh juga pada perubahan iklim. Hilangnya hutan bisa membuat ekosistem bumi berubah, industri pabrik kelapa sawit juga memberikan tambahan emisi karbondioksida. Karenanya, Uni Eropa membatasi semua impor minyak sawit untuk biofuel pada 2019 hingga 2023, dan akan menghentikan total impor sawit pada 2030.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

2 Masyarakat Adat Korban Janji Palsu

HRW pada penelitiannya kali ini, memfokuskan operasi penanaman kelapa sawit oleh dua perusahaan, yakni PT LL di Kalimantan Barat dan PT SAL di Jambi. Kedua perusahaan ini dipilih karena dianggap telah menghancurkan hak milik dua suku lokal, yakni Dayak Iban dan Orang Rimba. Padahal, sejak 1999 sudah ada hukum yang menyatakan bahwa setiap perusahaan yang ingin mengembangkan minyak kepala sawit harus berkonsultasi terlebih dahulu pada penduduk lokal, baru setelahnya akan mendapat izin dari pemerintah.

Nyatanya, kedua perusahaan tersebut tidak melakukan hal tersebut. Bahkan, PT LL yang telah menjanjikan akan merelokasi rumah penduduk yang digusur tidak menepati janji sesuai kontrak hingga sepuluh tahun. Mereka juga tidak memberikan kompensasi kepada penduduk asli yang terkena dampaknya tersebut. Parahnya lagi, perusahaan tersebut tega membakar rumah tradisional penduduk asli yang menolak untuk direlokasi.

Diketahui, hutan yang kaya akan tanaman tersebut sebelumnya digunakan oleh penduduk setempat sebagai bahan makanan dan material untuk membuat tikar, keranjang dan alat rumah tangga lainnya.

"Suami saya menolak untuk menjual tanah kami. Beberapa bulan kemudian, saat saya sedang berada di rumah ibu saya dan suami saya sedang di Malaysia, kami mendengar suara berisik dan ada asap. Saya pergi melihatnya dan rumahku sudah terbakar. Semua di dalamnya, sepeda anakku, baju, dan kayu yang kami kumpulkan untuk membangun rumah semuanya hilang," kata Francesca, penduduk suku Dayak Iban yang menjadi korban.

Hal serupa juga dialami oleh penduduk di Jambi. PT SAL diketahui belum menemukan titik tengah saat berkonsultasi dengan Orang Rimba. Tapi, mereka memutuskan secara sepihak dan langsung melakukan penggundulan hutan. Padahal, hutan bagi Orang Rimba adalah kehidupan karena kebutuhan makanan hingga rotan dapat ditemukan di sini.

Kini, banyak Orang Rimba di Jambi yang tidak memiliki rumah dan tinggal di tenda plastik. Bahkan, beberapa Orang Rimba mengatakan bahwa dulu mereka swasembada, tetapi sekarang terpaksa mengemis di jalan raya atau "mencuri" buah kelapa sawit dari area perkebunan untuk dijual agar menghasilkan uang. Sekarang, mereka hidup dalam kemiskinan yang hina.

"Dulu, hidup lebih baik. Wanita bisa menemukan berbagai jenis makanan. Beberapa menganyam tikar dan keranjang dari daun. Kami juga membuat lampu dari getah damar. Kini, kami tidak bisa menemukan bahan-bahan tersebut," ungkap Maliau, penduduk suku Orang Rimba yang memiliki sembilan orang anak.

Pada 2018 dan 2019, HRW telah mengirimkan surel kepada kedua perusahaan tersebut yang berisi penelitian dan beberapa pertanyaan. PT LL tidak merespons surel tersebut, dan PT SAL membalas pada Agustus lalu dan berisi bahwa mereka telah membantu edukasi, kesehatan dan program ekonomi lainnya untuk warga sekitar. Tapi, kedua perusahaan tersebut diketahui belum memiliki mekanisme jelas mengenai kompensasi kepada para korban. (Novi Thedora)