Sukses

Jatuh Bangun Oscar Lawalata Kumpulkan Ratusan Kain Nusantara

Dua puluh tahun sudah Oscar Lawalata jelajah negeri demi menelisik ragam kain Nusantara.

Liputan6.com, Jakarta - Dua puluh tahun sudah desainer Oscar Lawalata jatuh hati dan berkarya dengan ragam kain tradisional Indonesia. Selama dua dekade, koleksi kain, mulai dari batik, lurik, sampai tenun, Oscar sudah mencapai ratusan lembar.

"Dulu, desainku lebih mengarah pada busana modern. Tapi, semua berubah saat aku ikut ASEAN Young Designer Contest (1999) di Singapura," Oscar bercerita di bilangan Jakarta Pusat, Jumat, 27 September 2019.

Ingin merepresentasikan budaya Indonesia di kancah mancanegara, kala itu Oscar memboyong rancangan baju bodo asal Sulawesi Selatan yang membuatnya meraih juara dua.

Dari situ, Oscar mengaku ketagihan belajar tentang ragam kain Nusantara. Kondisi berbeda dengan hari ini membuat perjuangan sang desainer jauh dari kata mudah. "Riset satu kain saja itu modalnya besar banget dulu," tuturnya.

Solo jadi daerah pertama yang disinggahi untuk belajar tentang kain tradisional. Dari situ, Oscar memperluas perjalanannya hingga mencapai Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dari perjalanan itu, Oscar Lawalata jadi tahu kondisi tempat-tempat penghasil kain tradisional di seantero Tanah Air. "Rasanya campur aduk. Dari kain, saya merasa bisa kenal negeri ini dari jarak lebih dekat," katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Makna di Balik Selembar Kain

Oscar menjelaskan, bila ditelisik, kain itu ada dalam lingkaran hidup kebanyakan orang Indonesia. "Mulai dari kita lahir, menikah, punya bayi, dan meninggal, kain ada di sana. Ada di budaya kita," tuturnya.

Selembar kain, menurut Oscar, juga mengemban nilai apresiasi bagi alam, orangtua, serta keluarga. Ditambah, ada filosofinya sendiri. "Tak semata siapa yang pakai," ucapnya.

Perjalanan panjang Oscar mengoleksi kain Nusantara dengan harus menyambangi satu per satu wilayah penghasil membuat setiap lembarnya sangat membekas di hati.

"Ada satu namanya kain (tenun) buna. Itu salah satu yang belum terlalu populer dan hanya ada di Timor," ceritanya. Ia menambahkan, setiap perajin membutuhkan waktu enam bulan sampai satu tahun membuat tenun buna.

Mengingat waktu panjang membuat selembar kain, Oscar mengimbau jangan sampai industri, khususnya dalam negeri, melupakan bahkan mematikan para perajin. 

"Contoh, batik print. Saya tidak setuju dengan nama itu. Batik itu proses, bukan motif. Yang di-print kan motif, batik tidak bisa di-print," jelasnya.

Selain itu, Oscar terus mengajak lebih banyak orang berperan untuk secara aktif membeli kain-kain tradisional dari perajin. "Perlu ada lingkaran ekonomi di sana. Perlu kerja sama, jangan dimatikan sama kita sendiri," katanya.