Liputan6.com, Jakarta - Usia mereka masih belasan tahun, terhitung cukup belia untuk menduduki jabatan tinggi yang berpengaruh kepada orang banyak. Tapi, hal tersebut tak memengaruhi mimpi lima anak perempuan terpilih untuk mewujudkan kesetaraan gender dan menjadi sosok yang berpengaruh sebagai pemimpin.
Polemik kesetaraan gender terus menjadi momok yang tak kunjung usai. Masalah representasi wanita di media, isu menjadi objek seksualitas dan stereotipe lainnya membuat wanita selama ini kerap dipandang sebelah mata oleh laki-laki. Kesal dengan hal tersebut, lima anak remaja perempuan Indonesia tak lelah berusaha menyuarakan kesetaraan yang seharusnya bisa diterima.
Berjuang bersama 506 partisipan dari kampanye Yayasan Plan Indonesia untuk #GirlsTakeover, terpilih 12 anak perempuan yang dilatih untuk menjadi pemimpin. Lima di antaranya berkesempatan untuk mengambil alih posisi penting, mulai dari pemimpin redaksi media nasional, pimpinan Google Indonesia, Duta Besar Swedia untuk Indonesia, hingga Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).
Advertisement
Baca Juga
Harapannya, lembaga besar tersebut mampu untuk membangun opini publik yang lebih baik tentang perempuan di media sehingga didapatkan kesetaraan gender yang lebih baik. "Karena kan kalau nggak equal, setengah dari dunia ini nggak bisa maju juga. Setengah dari penduduk dunia ini kan perempuan. Kita tidak berharap kegiatan ini akan berhenti di sini saja. Tapi, setelah ini kita ingin juga bersama dengan 12 adik-adik ini, melihat journey mereka sebagai pemimpin," tukas Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Plan Indonesia.
Lima anak perempuan yang mendapatkan kesempatan emas tersebut adalah Riska dari Lembata, Sabrina dari Blitar, Wafi dari Sukakarta, Naura dari Magelang dan Manda dari Bogor. Pada 9 Oktober 2019, mereka dapat mencicipi bagaimana rasanya menjadi pemimpin yang dapat bersuara dan berpengaruh bagi orang banyak dalam sehari.
Riska, remaja berusia 15 tahun bercerita pada konferensi pers #GirlsTakeover oleh Yayasan Plan Indonesia kesempatannya untuk menggantikan Rudiantara, Menkominfo. Dengan lugu dan ceria, dia mengatakan bahwa dia merasa bangga bisa diperkenalkan dengan berbagai pejabat.
"Kemarin, saya bersama bapak menjalankan tugasnya. Pertama, dari rumahnya bapak, terus mengikuti acara wisuda Universitas Esa Unggul dan di sana saya diberikan kesempatan untuk memberikan sambutan. Bangga banget bisa berdiri di depan kakak-kakak mahasiswa," tutur Riska dengan senyum manisnya.
Bak mimpi jadi nyata, dia juga mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla pada sebuah acara. Dengan semangat, dia bercerita "aku duduk di barisan yang paling depan, menghadap Bapak Jusuf Kalla. Serasa aku menghadap gambarnya, padahal ini aslinya".
Ceritanya ini disambut oleh gelak tawa hadirin sembari memberi tepuk tangan pada semangat anak ini. Melalui kampanye ini, dia berharap wanita di media bisa dikenalkan lebih ke prestasinya karena selama ini dia masih melihat media lebih sering menggambarkan cara berpakaian dan lekuk tubuhnya saja.
Tak jauh berbeda dengan kisah Riska, Wafi yang berusia 17 tahun ini juga mengambil alih posisi pejabat pemerintahan, yakni Marina Berg, Duta Besar Swedia untuk Indonesia. Dengan pembawaan lebih tenang, anak perempuan itu bercerita bahwa kegiatannya selama sehari itu memberikan dia pengetahuan tentang caranya menjadi pemimpin.
"Aku jadi mengerti, ketika orang hebat berbicara itu, mereka tidak membuat orang merasa disalahkan. Terus mereka juga mempunyai wawasan yang sangat luas," papar Staf Pembinaan Program Komunitas Green Generation Indonesia ini pada Kamis (10/10/2019).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Cerita Pengalaman Lainnya
Berlanjut ke anak ketiga, siapa sangka gadis berusia 15 tahun dari Blitar bisa menggantikan posisi CEO Google Indonesia? Rasa tak percaya juga menyelimuti Sabrina yang mengambil alih posisi Randy Jusuf.
Sedari awal, dia memang sudah aktif menjadi relawan di Komunitas Pemuda Peduli Perempuan dan Anak (RP3A) Kabupaten Blitar. Berlandaskan semangat yang ada, dia ingin menggunakan platform Google yang telah digunakan oleh banyak orang terutama milenial.
"Harusnya kita tidak hanya menggunakan beberapa aplikasi itu. Kalau ada yang memudahkan kita, harus kita manfaatkan. Jangan hanya challenge-challenge nggak berfaedah atau kita buka YouTube buat lihat-lihat video mukbang atau cuma 'entah apa yang merasukimu' gitu ya," ujar Sabrina saat berbicara di kantor Google Indonesia, kawasan Jakarta Selatan.
Sejalan dengan tema Plan Indonesia untuk kampanye tahun ini, yakni gambaran anak perempuan di media, Naura (17) dan Manda (16) juga diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin redaksi dua media nasional. Tak direncanakan, mereka berdua menjadi pemimpin perempuan pertama di media tersebut meskipun hanya satu hari.
Tak lengah menggunakan kesempatan yang ada, mereka menyuarakan kepedulian mereka terhadap masalah representasi wanita di media. Bahkan, Manda sempat memerintah editor untuk mengganti foto manekin wanita agar tidak dianggap wanita hanya sebagai objek.
"Mereka nerima saran-saran dari saya. Kayak misalkan, kemarin memberi saran Plan berita dua hari ke depan yaitu bertepatan dengan Hari Anak Perempuan Internasional, ya saya ngajuin gimana kalau headline-nya tentang hari itu dan disetujui," cerita Manda lagi.
Kinerja kelima anak perempuan Indonesia ini diapresiasi oleh para petinggi yang digantikan posisinya selama sehari. Meskipun tetap harus didampingi, mereka mengatakan bahwa anak-anak muda Indonesia ini sudah berada di jalan yang benar.
"Mereka berjuang untuk mendapatkan kesempatan yang setara. Tugas kita adalah bersinergi untuk mewujudkan media massa dan media sosial yang aman dan positif bagi semua pihak, termasuk anak perempuan," kata Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
Advertisement
Pentingnya Peran Media untuk Representasi Wanita
Saat ditanya mengenai pengalamannya tentang kesetaraan, hampir kelima putri tersebut mengatakan mereka pernah mendapatkan kesempatan yang tidak mengenakkan. Baik dari lingkungan sekitar hingga keluarga.
Naura mengatakan bahwa representasi wanita dalam media dan iklan yang ada menciptakan stereotip tentang standar kecantikan. Dia merasa bahwa perempuan dibentuk citranya sebagai sosok yang cantik jika memiliki wajah tirus, hidung mancung, kulit putih dan punya tubuh proporsional.
"Kadang kalau ada yang lebih cantik, saya didiemin. Kalau enggak, kayak catcalling gitu, kayak 'ih cantik', 'ih cewek', 'eh sayang', gitu kan bikin risih ya. Kadang juga ada yang mengandung seksisme ke saya," tutur Ketua Komunitas Magelang Cerita ini.
Bercita-cita menjadi jurnalis, Naura berharap ke depannya media bisa dicitrakan dengan segala potensinya, bukan sebatas fisik saja mengingat media dalam mengubah pola pikir masyarakat. Sama halnya dengan Naura, Wafi mengatakan bahwa banyak remaja perempuan yang menjadi kurang percaya diri karena mereka melihat sosok dari tokoh iklan atau sinetron.
"Ketika media merepresentasikan wanita yang berkulit putih, hidung mancung, maka anak perempuan akan berpikir cantik hanya sebatas itu. Padahal, kelebihan anak perempuan kan tidak sebatas fisik saja, tapi berdasarkan intellegence-nya, kompetensinya dan lain-lain," kata Wafi.
Kepedulian lainnya diungkapkan oleh Riska, dia mengaku bahwa pengaruh budaya juga memengaruhi kesetaraan yang didapatkannya di lingkungan keluarga. Dia bercerita bahwa sebagai anak sulung perempuan yang memiliki adik laki-laki, dia kerap kali disampingkan dan disuruh mengalah. Padahal, dia merasa bahwa sebagai anak perempuan dia juga harus diberikan kesempatan yang sama.
"Saya berharap pemerintah dan masyarakat bisa tetap mendukung anak-anak perempuan utuk maju, terlepas dari situasi mereka yang mungkin tidak selalu sejalan dengan harapan masyarakat," ujar remaja yang aktif dalam ekstrakurikuler paduan suara di sekolahnya ini.
Media massa juga diharapkan mampu untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pendidikan seksual dan bahayanya tindakan pelecehan kepada wanita. Banyak teman sebaya dari Sabrina yang melakukan candaan dengan mengangkat rok atau menarik hijab kepada orang lain.
Guna memberantas hal tersebut, dia mencoba menjadi aktivis di Forum Anak dan RP3A untuk menyuarakan pendapatnya. Selain itu, media juga menurutnya harus mampu untuk berhenti melabeli dan membatasi perempuan terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak perempuan. Memegang prinsip 'tabu jadi tahu' menyemangati Sabrina untuk terus menyuarakan kesetaraan gender ini.
"Permasalahan seperti bullying dan kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi tak terelakkan karena stereotipe ini terkadang menyudutkan perempuan agar tunduk dengan ekspektasi masyarakat, ketika seharusnya mereka bisa beraksi dan berbuat lebih untuk lingkungannya," ungkap Sabrina lagi.
Melihat maraknya masalah tentang representasi dan kesetaraan perempuan, Plan Indonesia melakukan kegiatan #GirlsTakeover di NTT juga dengan mengambil alih posisi gubernur, pemimpin redaksi TVRI NTT dan media lokal. Selain itu, dilakukan juga Girls Leadership Camp selama tiga hari untuk memberdayakan belasan anak perempuan terpilih lainnya. (Novi Thedora)