Sukses

Survei: Anak Muda Indonesia Ingin Lihat Karakter Wanita Pantang Menyerah di Media

Merasa tidak adil, Plan Internasional lakukan riset dan survei untuk melihat representasi dan kesetaraan gender di media.

Liputan6.com, Jakarta - Tanggal 11 Oktober diperingati sebagai Hari Anak Perempuan Internasional. Bertepatan dengan agenda ini, banyak pihak yang mencoba untuk menyuarakan pendapat anak perempuan termasuk di Indonesia.

Salah satu gerakan yang dilakukan adalah kampanye #GirlsTakeover yang dilakukan oleh Yayasan Plan Indonesia. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka melakukan penyetaraan gender.

Mengangkat tema "Anak Perempuan di Media", Yayasan Plan Indonesia menghadirkan lima orang anak perempuan untuk menggantikan posisi para petinggi selama satu hari seperti pemimpin redaksi dua media nasional, CEO Google Indonesia, Duta Besar Swedia untuk Indonesia hingga Menteri Komunikasi dan Informatika. Kegiatan tersebut dilakukan pada Rabu, 9 Oktober 2019.

Tak sembarang pilih tema dan posisi, Yayasan Plan Internasional merasa selama ini wanita di media kerap kali hanya dijadikan sebagai pemanis bahkan objek seksisme. Film dan iklan dianggap membatasi dan membuat stereotipe terhadap potensi wanita. Guna mematahkan anggapan tersebut, mereka melakukan aksi tersebut untuk menyampaikan pesan ke publik bahwa anak perempuan juga bisa memimpin.

Sebelum melakukan aksi ini, mereka melakukan riset dan survei untuk membuktikan secara eksak bahwa media massa hingga kini masih kerap menyudutkan wanita, baik secara eksplisit maupun implisit. Yayasan Plan Internasional bekerja sama dengan Geena Davis Institute on Gender in Media untuk riset kali ini.

"Anak perempuan perlu melihat diri dan karakter mereka tercermin di layar. Karakter positif dapat menginspirasi mereka untuk berkembang. Pembuat konten di industri media dan entertainment berkesempatan memengaruhi aspirasi anak perempuan dengan cara menghentikan stereotipe yang merusak," kutip Nazla Mariza, Communication and Influencing Director Plan Indonesia dari ucapan Geena Davis, pendiri Geena Davis Institute.

Mereka menganalisa 56 film teratas dari 20 negara, dan terungkap fakta bahwa hanya ada 27 persen tokoh perempuan yang digambarkan sebagai pemimpin di layar kaca. Sedangkan pada tokoh laki-laki, terdapat 42 persen yang digambarkan sebagai pemimpin. Pemimpin yang diteliti bisa dari pemimpin perusahaan, organisasi dan superhero.

Masih berkaitan dengan sosok pemimpin, sebanyak 15 persen tokoh pemimpin perempuan lebih sering digambarkan untuk beradegan setengah telanjang dibandingkan tokoh laki-laki yang hanya mendapat porsi sebesar delapan persen. Hal ini membuktikan wanita masih sering dijadikan objek seksisme oleh publik.

"Kita lihat ya ini (tokoh Wonder Women), meskipun digambarkan sebagai superhero, tapi pakaiannya terbuka seperti itu. Sangat beda jika dibandingkan dengan tokoh superhero laki-laki yang pakaiannya tertutup," tambah Nazla pada konferensi pers kampanye #GirlsTakeover pada Kamis, 10 Oktober 2019.

Berlanjut ke masalah di belakang layar. Kesempatan kerja untuk kru film juga lebih sedikit terhadap wanita. Terbukti dari jumlah pekerja dalam produksi 250 film top Amerika pada 2018, rasio perbandingannya adalah hanya ada satu pekerja perempuan dari lima pekerja yang terlibat.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Pembatasan Standar Kecantikan di Iklan

Selain masalah di film, iklan juga merupakan sarana yang berpengaruh dalam membuat anak perempuan melihat dirinya. Plan Internasional melakukan riset terhadap 108 iklan yang dilihat oleh anak-anak perempuan di lima negara.

Hasilnya, perempuan muda ini menyadari bahwa tubuh perempuan sering digunakan untuk mempromosikan produk. Lalu, dalam iklan juga tokoh laki-laki dibuat terkesan lebih cerdas dibanding perempuan.

"Kalau kita lihat, perempuan biasa di iklan tentang produk rumah tangga atau kecantikan saja. Kalau untuk alat teknologi, masih diisi oleh laki-laki," tukas Nazla lagi.

Dampak dari standarisasi tersebut juga pernah dirasakan oleh Naura, satu dari lima anak perempuan yang terpilih menggantikan posisi pejabat tinggi. Naura terpilih untuk mengambil alih posisi pemimpin redaksi salah satu media nasional.

Menurutnya, citra perempuan di media lebih sering menampilkan sosok cantik dengan wajah tirus, hidung mancung, kulit putih dan tubuh proporsional. Hal ini membuatnya kerap mendapatkan perlakuan tidak setara.

"Kadang kalau ada yang lebih cantik, saya didiemin. Kalau enggak, kayak catcalling gitu, kayak 'ih cantik', 'ih cewek', 'eh sayang', gitu kan bikin risih ya. Kadang juga ada yang mengandung seksisme ke saya," kata Naura kepada Liputan6.com.

3 dari 3 halaman

Ingin Lihat Sosok Perempuan Pantang Menyerah

Selain riset yang dilakukan oleh Plan Internasional, Yayasan Plan Indonesia juga sempat melakukan survei yang bekerja sama dengan U-Report Indonesia. Menggunakan tema yang sama, survei diisi oleh 2.968 responden laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 13-18 tahun.

Hasilnya, sebanyak 83 persen juga mengatakan bahwa wanita lebih sering ditampilkan fisiknya secara negatif, misalnya tentang korban kekerasan seksual. Lalu, sebesar 77 persen hasil survei, melihat media lebih sering menampilkan sosok laki-laki sebagai figur pemimpin.

Selain itu, lebih dari seribu responden mengaku ingin melihat karakter perempuan dengan sifat pantang menyerah di media. Posisi kedua yang ingin dilihat adalah karakter yang lembut, kemudian berinisiatif.

Riska, salah satu remaja berusia 15 tahun yang sempat mengambil alih posisi Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara mengaku menyukai karakter Disney, Moana. Anak perempuan yang berasal dari Lembata ini mengatakan tokoh tersebut dapat menggambarkan sosok sebagai wanita yang berani dan gigih.

"Moana itu pengen mengubah pandangan masyarakat di desanya, bahwa perempuan juga bisa keluar dari desanya," kata Riska.

Selain Riska, Wafi yang berkesempatan juga untuk menggantikan Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Marina Berg juga bercerita bahwa sebelum dia melakukan kegiatan tersebut, dia sempat riset membandingkan iklan di Swedia dan Indonesia.

Menurutnya, iklan di Swedia tidak merepresentasikan lekuk tubuh wanita saja, tapi juga menggambarkan pekerjaan yang setara dengan laki-laki. Kendati demikian, Wafi juga mengatakan kesetaraan gender tidak berlaku hanya bagi wanita, tapi lelaki juga.

Selama ini, stigma laki-laki tak boleh menangis masih menjadi momok yang membuat anak laki-laki merasa lemah. Padahal, menangis adalah simbol emosional sehingga masyarakat harus mematahkan stigma tersebut. (Novi Thedora)