Sukses

Sejarah Unik Bangunan yang Jadi Jiwa Jalan M.H. Thamrin

Salah satu bangunan di Jl. M.H. Thamrin ini sempat jadi gedung tertinggi di Asia Tenggara.

Liputan6.com, Jakarta - Waktu menunjukkan pukul 07.33 WIB. Seperti biasa, Jalan M.H. Thamrin sudah ramai dengan kendaraan, seperti transjakarta, mobil, dan ojek online. Tak ketinggalan, para pejalan kaki juga mulai lalu-lalang dari stasiun MRT atau Halte Transjakarta.

Lantaran peran sebagai pusat perekonomian, banyak gedung megah nan tinggi menjulang di kawasan Jakarta Pusat ini. 'Gelar' sebagai metropolitan membuat masyarakat lupa bahwa jalan yang telah ada berdiri sejak 1952 ini juga memiliki sejarah menarik.

Saat itu, Liputan6.com sedang mengikuti peluncuran "Enjoy Jakarta Walking Tour", pada Jumat, 11 Oktober 2019, cara wisata baru yang disiapkan Suku Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta Pusat untuk menikmati berbagai lokasi terkenal di Jakarta Pusat.

Dari enam rute yang disediakan, saya dibawa untuk rute 'Skyscraper', yakni rute sekitaran Jalan M.H. Thamrin. Diberi nama demikian mengingat jalan ini banyak gedung-gedung tinggi seperti Hotel Indonesia, Plaza Indonesia, Wisma Nusantara, dan yang lainnya.

Berjalan dari Gedung Sarinah mulai pukul 07.15, Farid, sang pemandu sudah bersemangat menjelaskan seluk beluk dan sejarah bangunan yang ada di sepanjang jalan ini. "Jadi, Sarinah adalah pusat,  perbelanjaan pertama di Jakarta," jelas Farid di awal sesi.

Gedung Sarinah tercatat dibangun pada 17 Agustus 1962 dan digagas oleh Soekarno. Saat itu, presiden pertama Indonesia tersebut ingin mendirikan pusat perbelanjaan murah sekaligus sebagai pembantu situasi ekonomi Indonesia yang buruk.

Perjalanan dilanjutkan menuju Wisma Nusantara sembari menunggu giliran menyebrang di depan jalan Plaza Indonesia. Di sesi ini, Farid kembali menjelaskan sejarah dan informasi unik dari bangunan tersebut.

 

"Jadi, ini (Wisma Nusantara) sempat jadi gedung tertinggi, tidak hanya di Jakarta, tapi juga Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Memang dibangunnya satu kompleks, barengan sama Hotel Presiden dulu namanya," buka Farid.

Saat awal dibangun pada 1963 dan diresmikan pada 1972, Wisma Nusantara berdiri setinggi 117 meter dengan 30 lantai. Tak hanya sebagai gedung tertinggi masa itu, Wisma Nusantara juga jadi proyek percontohan Jepang untuk membangun gedung tinggi anti-gempa.

"Wisma Nusantara sendiri jadi proyek percontohan ketika Jepang ini kan satu negara yang banyak gempa. Pada saat mereka belum berani membangun skyscraper, mereka membangun ini dulu," paparnya.

Farid mengatakan, setelah Wisma Nusantara berhasil berdiri, barulah Jepang menjadikan bangunan ini sebagai contoh mendirikan gedung pencakar langit di kota-kota besar di Negeri Sakura.

Setelah beberapa tahun tahun memegang titel sebagai gedung tertinggi di Jakarta, pada 1974 gelarnya disaingi oleh Hotel Mandarin Oriental.

Masih berbicara soal hotel, salah satu yang ternama di Jakarta Pusat bahkan Indonesia adalah Hotel Indonesia. Termasuk salah satu hotel yang mewah, bangunan ini awalnya didirikan sebagai tempat tinggal para atlet dan delegasi untuk Asean Games dari berbagai negara. Seperti yang kita tahu, Indonesia pernah menjadi tuan rumah Asian Games keempat pada tahun 1962.

"Tiga bangunan yang ada di sekitar kita, yaitu Hotel Indonesia, terus kemudian Wisma Nusantara dan kemudian juga Sarinah, inilah yang sebenarnya jadi soul atau jiwanya dari Jalan M.H. Thamrin. Sebelum akhirnya banyak gedung atau bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya," papar Farid.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Bundaran HI Dibangun Dua Kali

Tak selesai sampai di situ, Farid memberitahu fakta menarik lain mengenai salah satu ikon Ibu Kota, yaitu Bundaran Hotel Indonesia atau lebih akrab disebut Bundaran HI.

Tak banyak yang tahu, patung yang ada di tengah Bundaran HI, yaitu Patung Selamat Datang, dibangun sebanyak dua kali. Patung dengan figur sepaasang lelaki dan perempuan tersebut awalnya didirikan setinggi tujuh meter, tapi presiden pertama Indonesia merasa kurang cocok dengan bentuknya.

"Pertama, karena berdirinya itu tujuh meter dan dianggap Bung Karno agak sedikit ketinggian. Akhirnya, yang sekarang itu lima meter saja dari kaki bawah hingga kepala," kata Farid sambil  menunggu waktu menyeberang.

Arah patung yang dibangun juga memiliki pertimbangan sendiri. Dulu, peserta Asean Games datang dari arah utara, yaitu Bandara Kemayoran sehingga patung juga dibuat menghadap ke sana. Kini, banyak wisatawan yang datang dari arah Bandara Soekarno-Hatta.

Selain itu, Farid menambahkan, sebenarnya Jalan M.H. Thamrin tidak dibangun hanya untuk pusat perbelanjaan atau administrasi. Tapi, juga sebagai jalan penghubung ke daerah Kebayoran Baru.

"Menyambungkan si pusat kota yang ada di (Jalan) M.H Thamrin ke Kebayoran Baru yang waktu itu jadi kota satelit," tutupnya.

(Novi Thedora)