Sukses

Eksplorasi Perupa Dwi Januartanto Menguak Esensi Makan Makna

Perupa asal Lamongan ini merefleksikan beberapa konsep dalam hidup dan makan yang lebih bermakna di karya bertajuk "Eat, Pray, Love".

Liputan6.com, Jakarta - Perupa asal Lamongan bernama Dwi Januartanto berhasil menyabet penghargaan sebagai gold winner di ajang UOB Painting of the Year 2019. Pencapaian ini diraih Dwi bersama karyanya yang bertajuk Eat, Pray, Love.

Karya Dwi Januartanto tersebut menampilkan tiga jajaran karung yang dirangkai sedemikian rupa. Pada bagian tengah karung, terdapat keterangan dengan warna kontras yang bertuliskan "makan makna".

"Secara garis besar, karya ini berbicara tentang pemaknaan terhadap proses biologis makan, secara konseptual begitu. Secara bentuk cenderung ke puisi, esai. Jadi aku memadatkan esai panjang yang tak pikir beberapa bulan jadi satu kalimat utuh itu "makan makna"," kata Dwi kepada Liputan6.com di Museum Nasional, Jakarta Pusat, baru-baru ini.

Menurut perupa kelahiran 1988 ini, biasanya banyak yang mengatakan "makan makan yuk,". Namun, ungkapan itu ia eksplorasi dengan mengubahnya menjadi "makan makna" karena kata Dwi, di balik makan ada makna banyak hal yang perlu dipikirkan ulang.

"Secara material di sini aku memakai sak karena memang representasi aku pribadi sebagai seorang petani dan juga ada kedekatan gambar-gambar yang aku pilih. Gambar di sini ada jagung. Aku petani jagung di rumah, ada simbol lele, pakan ternak, ada ayam," lanjutnya.

Dwi membuat karya Eat, Pray, Love di Lamongan, Jawa Timur. Di sana, ia menyebutkan, tengah maju pertanian jagung, namun di sisi lain ada kerisauan yang ia tangkap.

"Di sisi lain yang tak terbaca oleh pemerintah dan sebagainya, banyak wabah tikus, banyak kerisauan semacam itu yang mengakibatkan perpindahan penduduk desa ke kota semacam jual pecel lele," tambah Dwi.

Ia menyebut ada banyak solusi hidup yang tidak membuat orang untuk memilih tidak menetap di kotanya. Lewat gambaran tersebut Dwi mencoba memadukan antara perpindahan ke kota melalui jualan dengan penetapan di desa melalui sak ini.

"Untuk makan ini, apa kita hanya dengan pertanian atau dengan menjual pecel lele, sebenarnya hak kita masing-masing untuk memaknai hal pokok dalam hidup ini. Dipikir secara psikologi katakan (hierarki kebutuhan) Maslow termasuk makan. Di karya ini ke balik-balik nggak masalah tapi masing-masing orang punya perjuangan untuk tetap hidup dengan ideal," tuturnya.

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Cerita di Balik Font

Karya Eat, Pray, Love terdiri beberapa komponen penting, salah satunya font "makan makna". Bukan tanpa alasan Dwi Januartanto memilih font tersebut dengan sentuhan yang menarik.

"Font ambil dari Metallica karena aku membaca bahwasanya lambang grafis sudah menyebar dari katakan Metallica dari pusat peradaban Barat, Metallica sama (bagian) tengahnya berbentuk Iron Maiden dari Inggris sama Amerika," jelas Dwi.

Lambang-lambang visual tersebut dikatakannya telah masuk dalam gaya sehari-hari banyak orang. Ini juga dapat merujuk pada pancaran kapital di pertanian.

"Jagung di kita ada benih kayak syngenta kalau mau kita telisik lebih lanjut lagi, sebenarnya itu benih-benih dari Amerika dan kita nggak punya produk massal berupa benih dari lokal. Ada pun ada, cuma nggak banyak, empat produsen jagung hibrida memang dari luar," tambahnya.

Sementara, dalam mencipta karya, Dwi mengaku tidak memiliki metode khusus. "Maksudnya kalau bikin karya kadang bahkan lima tahun tak bikin belum selesai. Nah, tapi nanti aku punya mood buat lanjutkan, ya aku lanjutkan," kata Dwi.

"Kalau membuat (Eat, Pray, Love) nggak terlalu lama, cuma mikirnya memang iya (lama). Bikin paling dua minggu," tutupnya.