Sukses

Teater Koma Pentaskan Lakon J.J Sampah-Sampah Kota Setelah 40 Tahun Berlalu

Teater Koma akan mementaskan lakon J.J Sampah-Sampah Kota di Taman Ismail Marzuki pada November 2019

Liputan6.com, Jakarta - Teater Koma akan tampil kembali lewat lakon berjudul J.J Sampah-Sampah Kota di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8-17 November 2019. Acara yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation merupakan produksi ke-159.

Lakon tersebut ditulis oleh Nano Riantiarno dan telah dipentaskan oleh Teater Koma pada 1979. Setelah 43 tahun berlalu, lakon tersebut dipentaskan kembali dengan arahan Rangga Riantiarno, putra Nano Riantiarno dan Ratna Riantiarno, sebagai sutradara.

Lakon J.J Sampah-Sampah Kota berasal dari dua karakter Jian dan Juhro, dua orang gila yang ditemui Nano di Cirebon, Jawa Barat. Lakon tersebud ditulis saat Nano diundang ke Amerika Serikat pada 1978.

"Di sana saya hanya mengikuti satu kali seminar dan memang tujuannya menulis selama enam bulan. Saya menulis lakon ini di sana," ungkap Nano saat konferensi pers di Sanggar Teater Koma, Bintaro, Jakarta Selatan, Selasa (29/10/2019).

Sebelumnya, lanjut Nano, ia menulis skenario film Jakarta-Jakarta dan mendapatkan Piala Citra di Makassar pada 1978. Namun, Nano merasa ada yang belum selesai dari skenario tersebut.

Ia kemudian menulis naskah teater dengan lakon J.J Sampah-Sampah Kota. Lakon ini bercerita tentang sepasang suami istri bernama Jian dan Juhro yang hidup di sebuah gubuk di kolong jembatan.

Jian bekerja sebagai kuli pengangkut sampah. Ia digaji harian dan tak punya jaminan masa depan. Meski begitu, ia tetap bekerja dengan jujur, rajin, giat, dan gembira. Bersama Juhro, yang sedang hamil tua, ia hidup bahagia.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Kritik Tiga Pihak

Nano mengungkapkan lewat lakon tersebut, ada tiga pihak yang ia kritik pada saat itu. Pertama, penguasa yang paling atas namanya Mandor Kepala.

"Yang jelas, yang atas itu orang yang memerintah orang yang di tengah. Saya nggak tahu yang di tengah itu siapa," ujar Nano.

Kedua, yang di tengah itu bisa senator, anggota DPR MPR, polisi, tentara, pegawai negeri, hansip. Mereka yang memerintah yang di bawah.

Ketiga, yang di bawah itu ada beberapa orang. Bagian bawah itu, kata Nano, benar-benar realisme pada 1969. "Jadi, nanti koreografi dan musiknya itu masuk pada tahun 1969, seperti ada lagu 'Dara Puspita'," kata Ratna.

Menurut Rangga, 40 tahun waktu yang cukup lama untuk mementaskan kembali lakon ini dengan para pemain yang tentu berbeda. Jika pada pementasan perdana, ada tokoh yang diperankan oleh pria, kini dimainkan oleh wanita.

Multimedia juga menjadi elemen baru dalam pementasan kali ini, karena ada tokoh yang hanya dimunculkan lewat multimedia. Tokoh ini nantinya akan berinteraksi dengan tokoh lain, bahkan bernyanyi.

"Saya memilih untuk mementaskan kembali lakon ini karena kisah para pemegang kekuasaan mempermainkan orang-orang kecil, dan ironisnya tidak lekang oleh waktu. Selalu terulang kembali, tak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia.  Jadi, cerita ini tetap relevan dengan kondisi saat ini," kata Rangga.

Sementara itu, tata busana pementasan ini dikerjakan oleh Alex Fatahillah bersama tata rias karya Subarkah Hadisarjana dan tata rambut garapan Sena Sukarya dengan dukungan PAC Martha Tilaar.  Semua itu berpadu dengan tata artistik garapan Idries Pulungan, tata cahaya besutan Deray Setyadi, latar animasi, dan multimedia olahan Deden Bulqini.