Sukses

Kala 4 Kesatria Fesyen Terjemahkan Makna Borderless dalam Pertunjukan Puncak JFW 2020

Tanpa batas, busana yang dulu identik untuk pria diolah sedemikian rupa agar tak terhalang gender. Itu salah satu terjemahan tema Borderless yang diangkat dalam Dewi Fashion Knight pada malam puncak JFW 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Dewi Fashion Knight 2019 menjadi show pamungkas rangkaian Jakarta Fashion Week (JFW) 2020 yang berlangsung pada Senin malam, 28 Oktober 2019. Empat desainer top Indonesia menonjol bersatu mengusung tema Borderless yang berarti tanpa batas di hadapan ratusan pengunjung yang nyaris memenuhi seluruh bangku.

Pertunjukan yang dijadwalkan mulai pukul 20.30 WIB, molor nyaris satu jam. Para tamu yang sudah berdatangan selepas Maghrib harus rela berdiri di area tunggu sembari dihibur musik dari meja DJ.

Awak media dipersilakan masuk lebih dulu. Tempatnya di section D, sisi kiri ujung runway. Berikutnya adalah undangan VIP. Terlihat Kahiyang Ayu yang mengenakan gaun hitam dengan rok mengembang masuk dalam ruang saat pencahayaan masih temaram.

Para selebritas ternama lainnya juga hadir di Dewi Fashion Knight 2019. Di antaranya Cinta Laura yang datang bersama make up artist Bubah Alfian, Wanda Hamidah, Nadya Mulya, dan Titi Rajo Bintang.

Sekitar pukul 22.00 WIB, pertunjukan puncak JFW pun dimulai. Koleksi dari label Kraton by Auguste Soesastro menjadi pembuka show. Pria kelahiran 10 Agustus 1981 itu menerjemahkan tema besar pertunjukan malam itu menjadi subtema The Javanese Invasion.

Alumnus School of Chambre Syndicale De La Couture Parisienne itu mengkonstruksi ulang pakaian lelaki Jawa pada abad 20 yang saat itu banyak mengenakan beskap dan surjan, lengkap dengan blangkon.

Pakaian yang pada masa itu hanya dipakai para lelaki, lantaran globalisasi, kini dibuat agar bisa dikenakan para perempuan. Misalnya, Agus memodifikasi beskap dengan menambahkan empat saku di bagian depan dan ujungnya melebihi pinggang.

Ia memadukannya dengan jumpsuit warna senada dan pump shoes berhak tinggi. Demi menegaskan ciri Jawa, ia menambahkan aksesori topi mirip blangkon tetapi terbuat dari bahan kasmir.

Ia juga menghadirkan atasan dengan memodifikasi surjan tetapi tetap mempertahankan kerah tinggi. Bila biasanya surjan menggunakan lurik, ia memanfaatkan bahan seperti wol dan heavy silk yang lebih mewah dan tentu saja mahal.

Surjan yang dikenakan model wanita itu dipadukan dengan celana 3/4 berpotongan longgar. Lagi-lagi, Agus menambahkan topi blangkon untuk menegaskan ciri khas Jawa.

Total ada 14 looks yang dihadirkannya malam itu. Sembilan di antaranya sangat kental akan sentuhan Jawa, lima lainnya adalah gaun malam yang seolah terlepas dari subtema yang diusung.

"Javanese invention itu maksudnya untuk memberikan pengaruh elemen baju Jawa ke baju-baju modern untuk dipakai sehari-hari. Saya pakai elemen Jawa supaya budaya kita tidak hancur," kata dia dalam jumpa pers sebelum acara.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

16 Muka dari Mel Ahyar

Pertunjukan berikutnya diisi oleh rangkaian koleksi dari Mel Ahyar. Untuk malam itu, perancang lulusan Esmod Paris itu mengartikan Borderless dengan subtema Skins.

Menurut dia, semua rancangan malam itu berkisah tentang kulit kedua manusia yang sering tidak disadari. Dengan perkembangan teknologi dan media sosial, semua orang berlomba-lomba menampilkan kulit terbaik di dunia maya, padahal di balik itu ada masalah kesehatan mental yang sering diabaikan.

Mel memanfaatkan beragam kain sisa, kain mycotex yang terbuat dari jamur Milea, hingga limbah mika hitam dari teman pematung. Seluruh bahan itu, sambung dia, adalah wujud tanggung jawabnya sebagai desainer agar karyanya lebih berkelanjutan.

"Udah pasti hemat cost tapi memang butuh effort lebih untuk mengolahnya agar menjadi karya," kata dia.

Ada 16 koleksi yang dihadirkan, semuanya memiliki karakter berbeda-beda. Salah satu yang tak mudah dilupakan adalah mini dress berbahan tulle dengan warna cokelat yang dihiasi detail mika keemasan menghiasi bagian depan dan belakang.

Sementara, kain mycotex dimanfaatkan untuk menciptakan long coat berkerah wide peak untuk menutupi gaun selutut yang dikenakan seorang model perempuan.

Lantaran ukuran kain jamur itu hanya 25x25, Mel membentuknya dalam motif tambal sulam. Ia juga memanfaatkan bahan lain yang membuatnya terlihat unik.

"Mengolah kain mycotex itu susah-susah gampang. Kalau direct iron, jadinya terlalu panas, dia jadinya kaya kebakar. Jadi, menyetrikanya harus dilaposi alas dulu," tutur Mel.

3 dari 4 halaman

Karya Personal Jeffry Tan

Lain lagi dengan karya desainer Jeffry Tan yang tampil usai koleksi Mel Ahyar turun panggung. Ia mengaku karya yang ditampilkan dalam show tersebut adalah karya personalnya.

Warna-warna monokrom menjadi pilihannya, selain warna segar yang diwakili oleh kuning menyala. Ia memadukan structured dan fluid, bentuk geometrik dan spiral, serta mengombinasikan tenun tradisional dan bahan material industri.

Kesan modern dan urban terpancar dari rangkaian looks yang ditampilkan. Misalnya saja atasan putih dan celana panjang hitam yang sama-sama dikenakan perempuan dan laki-laki.

Sementara, gaun kuning panjang dengan belahan samping terinspirasi dari pakaian kurta khas Pakistan. Pada versi perempuan, gaun tersebut dipadukan dengan celana panjang berwarna turquoise, sementara versi lelaki, model memadukannya dengan legging hitam.

Ia menambahkan detail spiral pada tas pinggang yang dikenakan sebagai aksesori pelengkap. "Saya terinspirasi dari vortex. Pusaran air yang kuat tapi dari elemen yang fluid," kata Jeffry.

4 dari 4 halaman

Ulos Rapuh dari Adrian Gan

Rangkaian karya Adrian Gan menutup show malam itu. Desainer yang baru pertama kali ikut Dewi Fashion Knight itu memanfaatkan kain ulos Pinucaan tak terpakai dan sudah rapuh yang didapat dari kolektor kain Torang Sitorus, sebagai material busananya.

"Hanya beberapa bagian yang bisa saya pakai. Hanya bagian kecil untuk bahan kombinasi lainnya," ujarnya.

Koleksi tersebut terinspirasi dari cara berpakaian masyarakat nusantara yang hampir menjadi pakaian keseharian warga setempat. Ada yang melilitnya di bagian tubuh tertentu, melipatnya jadi sarung, hingga menggunakannya sebagai setelan.

Dari ketiga unsur itu, ia memadupadankan menjadi koleksi yang lebih modern dan gampang dikenakan. Misalnya saja, gaun panjang dengan kerah bulat dan lengan balon atau blus dari tenun yang dipadukan dengan outer panjang semata kaki dan celana 7/8.

"Saya beri sulaman tangan yang motifnya abstrak," katanya.

Show pun berakhir hampir pukul 23.00 WIB dengan tampilan seluruh karya dari empat kesatria. Tanpa ada gimmick tambahan seperti yang ditampilkan saat show hari pertama yang menampilkan karya Oscar Lawalata dan Chitra Subiyakto. Hanya menyisakan suara tepuk tangan dan teriakan senang dari undangan.