Sukses

Sosok Wanita Berkursi Roda Pengubah Wajah Seoul yang Ramah bagi Traveller Disabilitas

Mengalami diskriminasi dari banyak pihak lantaran berkursi roda, wanita asal Korea Selatan kini bisa mengubah kebijakan pemerintah setempat agar lebih ramah bagi kalangan disabilitas.

Liputan6.com, Jakarta - Semua orang berhak untuk menikmati kenyamanan saat berwisata, termasuk para disabilitas di Korea Selatan, khususnya Seoul. Namun siapa sangka, negeri ginseng itu baru mengubah kebijakan agar lebih ramah bagi para traveler dengan keterbatasan fisik pada 2017 lalu.

Sosok yang ada di balik revolusi kebijakan tersebut adalah seorang perempuan berkursi roda bernama Hong Seo-Yoon. Dilansir dari South China Morning Post, Rabu, 13 November 2019, ia mendirikan Accessible Korea, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam advokasi bagi industri pariwisata agar lebih ramah bagi penyandang disabilitas dan membuat rekomendasi kebijakan peningkatan di sektor tersebut.

Organisasi itu dilatari pengalamannya sebagai pengelana yang telah berkeliling ke lebih dari 30 negara. Ia lalu menuliskan pengalamannya dalam sebuah berjudul Europe, there’s no reason not to go, buku tentang perjalanan pertama yang dibuat oleh seorang berkursi roda di Korea Selatan. 

Menurut Hong, banyak penyandang disabilitas baik mereka yang tunanetra, tuli, atau menggunakan kursi roda, ingin melakukan hal yang sama saat berwisata seperti traveler dengan anggota tubuh lengkap. "Mereka ingin bepergian, mengunjungi berbagai tempat. Aku pikir tidak ada perbedaan," ujarnya sambil menambahkan bahwa memiliki disabilitas bukan sesuatu yang spesial atau aneh.

Suaranya kemudian didengar Organisasi Pariwisata Seoul dengan mengucurkan dana sebesar 15,2 miliar won pada 2017 untuk perbaikan fasilitas bagi penyandang disabilitas dalam jangka waktu lima tahun. Ibu kota Korea Selatan itu kemudian memasang lebih dari 9000 fitur yang memudahkan perjalanan orang-orang dengan keterbatasan fisik, seperti lift, toilet disabilitas, dan meninggikan trotoar bagi orang-orang dengan kemampuan penglihatan rendah, berdasarkan data Pemerintah Kota Seoul.

Awal tahun ini, kota itu membuka Danurim Centre, sebuah kantor yang menyediakan informasi tentang wisata yang lebih mudah diakses dan transportasi bagi para traveler domestik dan mancanegara. "Tujuan utama kami untuk membuat Seoul menjadi kota universal, siapapun dapat menikmatinya tanpa merasa tak nyaman," kata Bang Hye Min, manajer Organisasi Wisata Seoul. 

Bang juga menyebut upaya itu didorong masukan dari Hong. Sebelumnya, pemerintah kota mencanangkan program untuk menciptakan kota yang inklusif sejak awal 2000an. Tapi, langkahnya berjalan lambat. Kini, Hong aktif mengabarkan segala fasilitas yang bisa diakses oleh para penyandang disabilitas.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Korban Diskriminasi

Hong terlahir normal, namun ketika berusia 10 tahun, ia menderita cedera tulang belakang saat berenang. Ia pun lumpuh total dari pinggang ke bawah hingga terpaksa memakan kursi roda untuk beraktivitas.

Saat itu, Seoul belum seramah sekarang. Trotoar belum bisa diakses para pengguna kursi roda. Ia harus berjalan di jalanan bersama kendaraan lainnya sambil didorong saudara lelakinya.

Seakan belum cukup, Hong juga mengalami diskriminasi saat duduk di SMP. Gurunya memintanya untuk dikirim ke institusi khusus untuk orang cacat lantaran di sekolahnya tidak ada lift. Akhirnya, sekeluarga memilih pindah ke Manila, Filipina, setelah guru pendampingnya menyatakan bahwa menjadi cacat bukanlah sesuatu abnormal.

Ia kembali ke Korea Selatan untuk berkuliah, dan pada saat itu ia mulai membela hak-haknya sebagai penyandang disabilitas. Ia pernah melawan pihak universitas karena menyuruhnya ambil waktu lain untuk kelasnya yang berada di lantai atas. Akhirnya, pendapatnya didengar dan kelas dipindah ke lantai dasar.

Sembari memperjuangkan haknya sebagai disabilitas, ia menjalankan hobinya berjalan-jalan. Ia bahkan mencoba paragliding di Eropa untuk membuktikan semua orang punya hak yang sama. Ia juga sempat singgah di Bali, Indonesia.

Pengalamannya itu menjadi naskah buku. Dua penerbit sempat menolaknya. "Mereka bilang bahwa tidak akan ada yang membaca kisah kecacatan," kata Hong, "Itu sangat menyakiti hati," kata Hong menambahkan.

Akhirnya, ia meyakinkan penerbit Saenggak Bi Haeng pada 2016 untuk menerbitkan naskahnya dan berjanji akan membeli seluruh buku jika tidak terjual. Di luar dugaan, 3.000 eksemplar cetakan pertama habis terjual. Sekarang sudah mulai cetakan kedua.

Bukunya mendapat respon positif dari orang-orang, terutama sesama disabilitas. Kebanyakan dari mereka ingin tahu bagaimana jalan-jalan atau datang ke pariwisata sebagai pengguna disabilitas. (Ossid Duha Jussas Salma)