Sukses

Mimpi MTs Negeri 3 Palu Miliki Lahan Sekolah Permanen di Hari Anak Sedunia

Lebih dari setahun bencana gempa dan likuefaksi Palu berlalu, para siswa MTs Negeri 3 Palu masih menempati bangunan sekolah sementara di lahan pinjaman.

Liputan6.com, Palu -  Lebih dari setahun berlalu sejak gempa bumi dan bencana likuefaksi menghantam Kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Sejak itu pula, para siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 3 Palu menjalani kegiatan belajar di bangunan sekolah sementara.

Kepala MTs Negeri 3 Palu, Munirah Labalado mengungkapkan, bangunan sekolah hancur akibat bencana yang terjadi pada Jumat maghrib, 28 September 2018 itu. Kalaupun masih ada ruang kelas yang berdiri, kondisi strukturnya sudah rapuh.

Lagipula, pemerintah menetapkan lahan yang ditempati bangunan sekolah sebagai zona merah alias terlarang untuk ditinggali maupun jadi tempat penduduk beraktivitas.

"Madrasah tidak berkegiatan belajar mengajar karena saat itu Maghrib. Tapi, siswa saya semua berdomisili di Petobo, Jonooge, Sigi,  terkena patahan. Hampir 50 persen terdampak langsung. Rata-rata rumahnya hancur," tuturnya di sela acara Berbagi Asa Palu dan Donggala 2019 yang diinisiasi P&G dan Save The Children, Rabu (20/11/2019).

Munirah menyebut sekitar 30 siswanya hilang dalam bencana itu. Sisanya banyak yang ikut mengungsi bersama orangtuanya ke Manado, Makassar, dan Pulau Jawa. Yang bertahan akhirnya tinggal di pengungsian di Palu.

Di tengah situasi tak menentu, pemerintah memerintahkan agar kegiatan belajar mengajar di madrasah itu kembali berjalan mulai 25 Oktober 2018. Alasannya, selain untuk mempercepat pemulihan trauma anak, kondisi psikologis kebanyakan orangtua para siswa juga labil. 

"Mereka (para orangtua) juga dalam proses recovery selain sibuk mencari mata pencaharian baru setelah gempa," tuturnya.

Usaha Munirah mendirikan bangunan sekolah sementara tak mudah. Namun, seorang warga bersedia meminjamkan lahannya sebagai tempat sekolah sementara berdiri sejak akhir tahun lalu. Tempat pertama berlokasi di sebuah GOR yang letaknya masih di Petobo, tapi tak masuk zona merah.

"Waktu itu di sini masih hutan," katanya.

Munirah berhasil mengumpulkan 60 anak untuk belajar kembali di madrasah. Kepada 60 anak itu, ia menjanjikan hadiah Rp100 ribu bagi mereka yang bisa mengajak temannya kembali ke sekolah. 

"Rp100 ribu per anak, jadi kalau satu anak berhasil mengajak 10 temannya, dia bisa dapat Rp1 juta," tuturnya.

Iming-iming itu pun berbuah manis, sekitar 500 anak kembali ke madrasah. Bahkan, pihak sekolah menerima tambahan siswa baru yang pindah lantaran sekolahnya juga terdampak likuefaksi. 

"Sekarang total murid MTS Negeri 3 Palu ada 666 orang. Jumlahnya tak berbeda dengan yang dulu," kata dia senang.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Tawaran Pemerintah

Imbasnya, bangunan GOR tak mampu lagi menampung semua siswa. Pihak sekolah akhirnya meminjam lahan warga yang berdekatan dengan GOR untuk dibangun tempat belajar sementara. Lahan itu dibangunkan sejumlah ruang kelas dari bambu dengan atap terpal.

Namun, tiga bulan berjalan, bangunan sudah tak layak pakai. Dibantu Save The Children dan sejumlah perusahaan, akhirnya berdiri 11 ruang kelas dengan struktur bangunan dari besi baja dan dinding triplek. Peralatan sekolah, seperti kursi dan buku-buku, dilengkapi untuk menunjang aktivitas sehari-hari.

"Kami juga tak bisa sembarangan. Desain ini kita ajukan dulu ke pemerintah, setelah disetujui baru dijalankan," kata M Mahyuddin Hatma, Community Engagement Manager Save The Children Donggala. 

Meski bersyukur, Munirah tetap memimpikan bangunan sekolah permanen di lahan milik sekolah. Pemerintah daerah, kata dia, sebenarnya sudah memiliki lokasi di Tondo, Palu Utara, tetapi ia keberatan.

"Petobo ini di Palu Selatan, terlalu jauh buat anak-anak. Saya juga bisa didemo para orangtua kalau pindah ke sana," kata dia.

Sementara ini, ia bisa bernapas lega lantaran pemilik lahan mengizinkannya untuk menempati bangunan sekolah hingga Desember 2020. "Moga-moga tahun depan sudah ada kepastian lahan," kata dia.

Meski masih serba terbatas, para siswa MTs Negeri 3 Palu menunjukkan semangat juang tinggi. Pada Desember 2018, tim sekolah itu meraih juara umum untuk lomba baris berbaris se-Pasigala (Palu, Sigi, dan Donggala) yang digelar Kodim setempat.

Selain itu, Munirah menambahkan, pada September 2019, berhasil menjadi 10 besar dalam kompetisi science tingkat nasional di Manado. Para siswa juga meraih juara lewat robot pemilah sampah dalam kompetisi robotika di Makassar.

"Anak-anak sekarang sudah pulih dan beraktivitas normal seperti biasa," katanya.