Liputan6.com, Nusa Dua - Meski makin banyak spot wisata baru yang bermunculan, kawasan Nusa Dua, Bali, tak pernah kehabisan pesonanya. Di kawasan yang dikelola International Tourism Development Corporation itu diisi sejumlah hotel dan resort bintang lima berskala internasional, termasuk salah satunya Hotel Melia Bali.
Anda tak akan pernah kehabisan acara seru saat menghabiskan waktu di hotel yang diresmikan oleh Presiden ke-2 RI Soeharto pada 2 Desember 1985 tersebut. Apalagi, hotel menyiapkan paket all-inclusive hanya dengan menambah 99 dolar AS atau sekitar Rp1,4 juta dari harga kamar The Level. Dengan paket tersebut, Anda bisa menikmati beragam fasilitas yang tersedia di hotel dengan leluasa.
Liputan6.com berkesempatan menikmati momen tersebut pada akhir pekan lalu, Minggu, 1 Desember 2019. Saya memulai hari dengan mengikuti tur bersepeda keliling kawasan Nusa Dua. Setiap tamu yang akan mengikuti acara tersebut diharapkan mendaftar sebelumnya dan datang pada pukul 08.00 pagi untuk memastikan dapat sepeda yang paling nyaman dikayuh.
Advertisement
Saya datang agak terlambat sehingga kebagian sepeda cadangan berwarna biru. Secara umum kondisi sepeda masih baik, hanya kurang cantik dibandingkan sepeda utama. Tak lupa pula membawa topi dan tas berisi cadangan air karena matahari pagi itu cukup terik.
Baca Juga
Seorang pemandu yang bertugas menjelaskan terlebih dulu rute yang akan dilalui. Dimulai dari menyusuri jalan paving blok di tepi Pantai Nusa Dua, rombongan kemudian akan berkeliling di desa sekitar dan melewati beberapa pasar hingga mampir sejenak di Water Blow dan kembali ke titik awal.
Pemandangan laut lepas dengan pasir putih menjadi yang pertama saya lihat sepanjang perjalanan. Rasanya segar dan nyaman, jauh dari polusi udara di Ibu Kota Jakarta. Namun, Anda harus berhati-hati dan jaga keseimbangan karena jalurnya lumayan sempit dan banyak orang sudah berlalu-lalang di sana.
Begitu keluar dari pesisir pantai, Anda akan diarahkan untuk menikmati kawasan terbatas Nusa Dua. Para peserta diarahkan untuk berjalan di jalur pedestrian ketimbang sisi jalan raya dengan pertimbangan keamanan. Untuk hal ini, tak perlu khawatir akan bersaing dengan pejalan kaki lantaran jarang ada orang yang menggunakannya.
Perjalanan dengan bersepeda kemudian akan sampai di desa sekitar. Suasananya sudah berbeda, bahkan rombongan saya sempat terhenti lantaran ada desa yang sedang menggelar upacara. Namun, jalan yang dipalang bisa dilewati oleh pesepeda.
Rombongan kemudian diarahkan memacu sepeda ke arah Nusa Dua kembali, tetapi tak langsung ke hotel. Kami diarahkan menuju Water Blow. Tempat untuk menikmati ombak memecah karang itu terlihat lebih cantik dari sekitar dua tahun lalu dengan rerumputan hijau dan sebuah jalan melingkar agar bisa melihat pesisir pantai dari atas.
Masuk ke Water Blow masih gratis hingga saat itu. Meski begitu, loket tiket sudah berdiri di samping pintu masuk. Kami menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit di sana. Kebanyakan peserta mengambil foto selfie di sana.
Tapi, ada sebagian anggota rombongan memilih untuk segera pulang ke hotel. Apalagi, jarak hotel dan Water Blow tak terlalu jauh. Sekitar 1 jam 15 menit sesi bersepeda pagi pun berakhir. Saya segera menuju restoran untuk mengisi perut setelah olahraga singkat itu.
Â
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Merangkai Canang Sari
Daftar kegiatan pada hari itu masih panjang. Para tamu bisa memilih mana yang disuka. Materi workshop akan berbeda setiap harinya. Saya penasaran dengan kelas Canang Sari, sebutan bagi sesajen umat Hindu Bali yang dipersembahkan setiap hari, yang kebetulan ada saat itu dan dimulai pada pukul 14.30 WITA.Â
Kelas canang sari dibawakan oleh staf hotel yang berpakaian kaus dan celana training, sangat kasual. Bertempat di Bale Lotus, kelas itu digelar seperti kelas privat. Hanya saya dan seorang tamu bule asal Jerman yang lebih dulu datang.
Di hadapan saya sudah tersedia bunga beraneka warna yang disebut warga setempat sebagai Pancar Galuh. Ada pula bunga kemitir warna kuning dan cacahan daun pandan yang semuanya segar.
Sebelum saya mempraktikannya sendiri, pemandu kami membuatkan pola untuk membuat wadah. Bahan yang dipakai adalah daun kelapa yang masih muda dan mudah dibentuk.
"Kami menggunakan semua yang ada di sini," kata Ni Luh Darmini yang biasa dipanggil Dani, pemandu kami.
Setelah dibuatkan pola, barulah bisa membuat wadah dasar canang sari. Satu bilah daun panjang dilipat empat dan disatukan menjadi bentuk kotak dengan bantuan staples. Selanjutnya, bahan yang sama dipotong untuk mengisi alas yang bolong.Â
Sementara itu, pemandu kami membuat sampian uras, yakni dekorasi yang juga terbuat dari daun kelapa muda. Tangannya sudah terampil, saya hanya diminta membentuknya jadi seperti bunga dan diletakkan di paling bawah.
Setelah wadah siap, barulah mengisinya dengan tebu, beras, dan dedaunan, seperti daun sirih, gambir dan pamor. Menurut Dani, itu perlambang hidup yang selalu memiliki dua sisi, pahit dan manis, suka dan duka. Sementara, beras merupakan perlambang Dewi Sri.
Selanjutnya adalah bebungaan. Warna gelap untuk mengisi bagian utara dan selatan, sementara warna cerah atau putih untuk mengisi sebelah timur. Terakhir sisi barat diisi dengan bunga gemitir. Di tengah-tengah barulah diletakkan irisan daun pandan. Harum semerbak langsung tercium.Â
Setiap bunga menjadi lambang. Warna ungu melambangkan Dewa Wisnu, merah melambangkan Brahma, hijau adalah Dewa Siwa, putih Iswara, dan Kuning Mahadewa. Setelah siap, barulah diletakkan dupa di atasnya.
"Kita juga bisa menaruh makanan di atasnya sebagai tanda syukur kepada Dewa. Biasanya, ini hanya bertahan 30 menit sampai sejam saja, setelah itu diambil," kata Dani.
Tapi, tak semua orang beruntung menyajikan persembahan dengan model demikian. Untuk menghemat biaya, ada yang membentuknya lebih sederhana seperti hanya jadi segitiga atau bentuk melingkar saja. Bahkan untuk kepraktisan, Anda juga bisa membelinya di pasar.
"25 (buah) sekitar Rp20-25 ribu, tapi harganya bisa lebih tinggi kalau ada upacara," kata dia.
Advertisement
Senja di Uluwatu
Seusai sesi merangkai canang sari, tibalah waktu berburu matahari tenggelam di Uluwatu. Dengan paket all-inclusive, Anda akan diantarkan ke lokasi dengan menumpang minibus atau bus, tergantung rombongan yang mendaftar, namun itu tidak termasuk tiket masuk ke kawasan wisata.
Perjalanan dari Nusa Dua ke Uluwatu sekitar 30 menit. Kondisi jalanan saat itu memang tidak terlalu padat.Â
Di sela-sela perjalanan, saya bisa melihat patung Garuda Wisnu Kencana dari kejauhan. Patung tertinggi kedua di dunia itu menjadi salah satu ikon Bali saat ini.
Di perjalanan pula, pemandu kami memperingatkan agar selalu berhati-hati pada kawanan monyet di sana. Pasalnya, bukan sekali dua kali mereka berulah saat wisatawan lengah. Ada yang kehilangan topi, tetapi ada pula yang kehilangan kamera mahal gara-gara digondol monyet.
Harga tiket masuk ke kawasan itu Rp30 ribu. Sebenarnya, di Uluwatu juga bisa menikmati pertunjukan tari Kecak sambil menikmati matahari terbenam. Namun, waktu kami tidak mencukupi bila harus mengikuti pertunjukan itu.
Alhasil, rombongan digiring ke arah titik melihat sunset terbaik melewati Pura Uluwatu yang dibangun sekitar abad ke-9 dan diinisiasi oleh Mpu Kuturan. Sosok sang mpu kini dibangunkan patung yang mengarah ke arah pura.
"Untuk menjaga dan melindungi pura," kata pemandu kami.
Rasanya tenang melihat matahari beranjak ke peraduannya sore itu. Apalagi, cuaca cerah dan angin yang bertiup tak terlalu kencang. Banyak pengunjung yang memanfaatkan momen itu untuk berfoto-foto.Â
Sekitar pukul 19.30, minibus yang mengantar rombongan kembali tiba di hotel. Saya pun bergegas menuju Lotus Restaurant yang menawarkan sajian Asia.
Semangkuk soto madura dan satu set nasi ayam menjadi menu makan malam saya saat itu. Makan malam makin nikmat dengan pertunjukan tari legong yang dibawakan oleh penari dari sanggar setempat. Jenis tarian sebenarnya akan berbeda setiap harinya.
Sekitar satu jam saya berada di sana, saatnya menutup hari dengan mencicipi es krim bertekstur lembut. Seiring dengan selesainya pertunjukan tari, agenda makan malam saya di Melia Bali pun berakhir.Â