Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim menjadi perhatian dari berbagai kalangan. Bermacam- macam sudut pandang pun dikemukakan ke publik, termasuk dalam kacamata agama. Peran agama dan umat harus dioptimalkan untuk mengatasi perubahan iklim. Hal itu disampaikan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid.
Dalam pandangan Yenny Wahid, kekuatan agama untuk menggerakkan manusia pada hal-hal yang sifatnya abstrak. Sebut saja soal surga dan neraka yang secara fisik tidak diketahui. Di sisi lain, perubahan iklim yang secara nyata terjadi, belum mampu menggerakkan umat manusia secara masif untuk beraksi mencegah pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK).
Advertisement
Baca Juga
"Saya mengajak semua untuk hijrah melakukan tindakan untuk pengendalian perubahan iklim," kata Yenny Wahid usai menjadi pembicara di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP25 UNFCCC di Madrid, Spanyol, Senin, 9 Desember 2019, dilansir dari keterangan tertulis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Yenny menilai keliru jika pengendalian perubahan iklim hanya menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan. Seharusnya, kata Yenny, umat manusia juga disentuh hati dan perasaannya agar melakukan aksi konkrit. Kemampuan menyentuh emosi umat manusia itulah yang dimiliki oleh agama.
"Tidak bisa hanya sekadar fakta, harus sentuh juga emosinya," kata Yenny.
Jika seluruh umat manusia meneruskan gaya hidup boros emisi GRK, maka bencana iklim seperti banjir akan terjadi. "Ketika saat itu terjadi, tdak ada perahu Nabi Nuh yang akan menolong kita," kata Yenny Wahid.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perlunya Menjaga Lingkungan Hidup
Yenny mengatakan, besarnya potensi agama dalam pengendalian perubahan iklim karena sekitar 80 persen umat manusia yang ada di bumi saat ini memeluk agama. Agar peran agama bisa opimal, maka organisasi keagamaan dan para pemuka agama harus dilibatkan sebagai pihak dalam pengendalian perubahan iklim.
"Pemimpin keagamaan bisa menyebarkan dakwah baru tentang ancaman perubahan iklim," katanya.
Apalagi, berbagai agama di dunia sesungguhnya mengajarkan tentang perlunya menjaga lingkungan hidup. Dalam ajaran Islam, ada konsep manusia sebagai khilafah- khilafah yang harus mengambil kepemimpinan dalam menjaga bumi. Dalam agama Sikh, konsep tersebut juga ada dan harus dilakukan oleh semua pengikutnya.
Saat ini sudah banyak aksi nyata yang dilakukan oleh kelompok umat beragama. Yenny mencontohkan saat menghadiri pertemuan ulama-ulama di Oman dibahas tentang fikih (hukum Islam) penghematan air.
Dia menuturkan, banyak juga sinagog yang kini menerapkan penghematan energi dan memanfaatkan energi bersih. Sementara, banyak gereja yang berinvestasi pada proyek yang berdampak pada pengendalian perubahan iklim.
Menurut Yenny, fenomena keterlibatan kelompok beragama dalam pengendalian perubahan iklim juga terjadi di Indonesia. Dua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia telah menjalin kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kedua organisasi tersebut, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah kerap melakukan aksi yang bermanfaat bagi lingkungan hidup seperti menanam mangrove, mendaur ulang sampah, dan tidak menggunakan plastik sekali pakai. Dia berharap peran seperti itu bisa terus diperkuat. “Kita beruntung kerja sama antara pemerintah dan organisasi kemasyarakat an di Indonesia erat," katanya.
Advertisement